Metode Penyebaran Hadis
Metode ini terbagi ke dalam delapan bagian. Berikut delapan metode itu secara terinci.
1. Mendengar (Samâ’) Hadis dari Redaksi Seorang Guru Hadis
Metode ini bisa berbentuk pendektean (imlâ’) Hadis atau yang lainnya, bisa dari hafalan dan bisa juga dari tulisan seorang guru Hadis. Menurut jumhur ahli Hadis, ini merupakan metode yang paling tinggi. Al-Qâdlî ‘Iyâdl mengatakan, “Telah disepakati bahwa dalam metode ini seorang rawi diperbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya: “Haddatsanâ” (Seorang guru meriwayatkan Hadis ini pada kami), “Akhbarana” (Seorang guru memberitakan Hadis ini pada kami), “Anba’anâ” (Seorang guru menceritakan Hadis ini pada kami), “Sami’tu fulânan wa qâla lanâ” (Aku mendengar fulan dan ia mengatakan tentang Hadis ini pada kami), dan “Sami’tu fulanân wa dzakara lanâ” (Aku mendengar fulan menyebutkan Hadis ini pada kami).
Menurut al-Khathîb, secara berurut tingkat ungkapan-ungkapan di atas mulai dari yang tertinggi adalah sebagai berikut, “sami’tu”, lalu “haddatsanâ”, lalu “haddatsanî”, baru kemudian “akhbaranâ”. Ungkapan yang terakhir ini (akhbaranâ) paling banyak dipergunakan oleh ahli Hadis. Tentu saja sistematisasi tingkat ungkapan ini dilakukan al-Khathîb, sebelum ungkapan “akhbaranû” itu lebih populer dikhususkan untuk menunjukkan bahwa Hadis dimaksud diterima dengan cara membacakan Hadis pada seorang guru (qirâ’ah ‘alâ al-syaikh).
Al-Khathîb melanjutkan sistematisasi urutan ungkapan-ungkapan yang dipergunakan dalam metode ini dengan menyebut “anba’anâ” (seorang guru menceritakan Hadis pada kami) dan “nabba’anâ” (seorang menceritakan Hadis ini pada kami). Ini disebut belakangan oleh al-Khathîb, karena dua ungkapan ini jarang sekali dipergunakan. Menurut Ibn al-Shalâh, “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” lebih tinggi tingkatannya daripada “sami’tu”, dari sisi yang lain. Karena pada “sami’tu” tidak terdapat indikasi bahwa seorang guru Hadis pernah meriwayatkan Hadisnya pada rawi itu. Berbeda dengan dua istilah teknis sebelumnya.
Sedang “qâla lanâ fulân” maupun “dzakara lanâ” sama dengan “haddatsanâ” dalam tingkat kemuttasilannya. Hanya saja ungkapan itu lebih tepat untuk penerimaan Hadis dengan cara mudzâkarah (berdiskusi). Karenanya, ungkapan tersebut dengan cara seperti ini, lebih mirip daripada “haddatsana”.
Tingkat terendah dalam ungkapan-ungkapan metode ini, adalah “qâla” atau “dzakara” tanpa disebutkan “lî” atau “lanâ”. Ini bisa juga dimaksudkan memang telah terjadi penerimaan Hadis, ketika telah diketahui adanya pertemuan (liqâ’) antara rawi dan gurunya, seperti cara yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan Hadis mu’dlal. Apalagi jika diketahui bahwa ia tidak mengatakan “qâla” kecuali pada Hadis-hadis yang ia terima dari gurunya.
Al-Khathîb mengkhususkan penyebaran Hadis dengan metode ini hanya untuk Hadis-hadis yang diterima dengan mendengar Hadisnya langsung dari seorang guru. Namun yang populer, itu tidak merupakan suatu kriteria.
2. Membacakan (Qirâ’ah) Hadis Pada Seorang Guru
Mayoritas ahli Hadis menyebut metode ini dengan sebutan‘ardl (sorogan). Dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan Hadisnya pada seorang guru. Atau orang lain yang membacakannya dan kita mendengarkannya dengan baik. Dan Hadis yang dibacanya itu bisa berasal dari sebuah kitab atau merupakan hafalannya.
Seorang guru Hadis, dalam metode ini, boleh saja meriwayatkan Hadisnya dari hafalannya. Ia juga boleh meriwayatkannya bukan dari hafalannya, jika dia telah berpedoman pada kitab sumber yang dirujuknya. Atau ia termasuk orang yang telah diakui ketsiqahannya. Dengan kriteria di atas, secara bulat disepakati, bahwa periwayatan ini dapat ditetapkan sebagai periwayatan yang shahîh. Kecuali beberapa pendapat dari orang-orang yang belum mendapat pengakuan, yang mempertanyakan keabsahan metode ini.
Hanya saja, para ahli Hadis berselisih pendapat mengenai tingkat akurasi dalam penerimaan redaksi Hadis seorang guru pada metode qirâ’ah dan metode samâ’. Ada yang menyatakan dua metode ini sama-sama mempunyai tingkat akurasi yang sama. Ada pula yang lebih mengunggulkan metode samâ’ daripada metode qirâ’ah. Pendapat lain lebih cenderung menggungulkan metode qirâ’ah daripada metode samâ’.
Kelompok yang berpendapat bahwa dua metode ini adalah sama dipelopori oleh Mâlik, murid-muridnya, dan para gurunya, ditambah mayoritas ulama Hijaz, ulama Kufah, al-Bukhârî, dan ulama-ulama lainnya. Sedang pendapat yang kedua didukung oleh jumhur ulama Masyriq dan pendapat ini merupakan pendapat yang bisa dipandang sebagai pendapat yang tepat. Pendukung pendapat ketiga dipelopori oleh Abû Hanîfah, Ibnu Abî Dzi’b, dan ulama lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Mâlik.
Dalam menggunakan metode qirâ’ah, yang paling baik seorang rawi mengatakan, “Qaratu ‘alâ fulân” (Aku bacakan Hadis ini pada fulan), “Qurî’a ‘alaih wa anâ asma’u fa aqarra bihi” (Hadis ini dibacakan pada guruku, aku mendengarnya baik-baik dan guruku mengakui bahwa Hadis itu benar darinya).
Selajutnya adalah ungkapan-ungkapan dalam metode samâ’ yang telah diberi tambahan keterangan, seperti “haddatsanâ qirâ’atan ‘alaih” (guruku meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara membacakan Hadis ini padanya), “akhbaranâ qirâ’atan ‘alaih” (guruku memberitakan Hadis ini pada kami dengan cara membacakan Hadis ini padanya), dan “ansyadanâ fî al-syi’r qirâ’atan ‘alaih” (guruku menembangkan suatu sya’ir pada kami dengan cara sya’ir itu dibacakan padanya).
Namun Ibn al-Mubârak, Yahyâ bin Yahyâ al-Tamîmî, Ahmad bin Hanbal, al-Nasâ’i dan ulama lainnya melarang penggunaan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” dalam metode ini. Meski demikian ada sekelompok ahli Hadis lainnya yang membolehkan menggunakannya. Suatu sumber mengatakan bahwa pendapat yang membolehkan ini dipelopori oleh al-Zuhrî, Mâlik, Ibnu ‘Uyainah, Yahyâ al-Qaththân, al-Bukhârî, beberapa kelompok ahli Hadis, mayoritas ulama Hijaz dan mayoritas ulama Kufah.
Di kalangan tokoh-tokoh ini juga ada yang membolehkan menggunakan “sami’tu” dalam metode qirâ’ah ini. Ada pula sekelompok ulama lainnya yang melarang menggunakan “haddatsanâ,” tapi mereka membolehkan menggunakan “akhbaranâ” dalam metode ini. Ini merupakan aliran yang dianut oleh al-Syâfi’î beserta murid-muridnya, Muslim bin Hajjâj, dan jumhur ulama Masyriq. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pendapat ini menjadi mazhab yang dianut oleh mayoritas ahli Hadis. Di samping bahwa pendapat itu banyak dikemukakan oleh ahli Hadis, seperti Ibnu Juraij, al-Auzâ’î, Ibnu Wahb, dan al-Nasâ’î. Dengan demikian, pendapat ini merupakan pendapat yang populer dan banyak dianut oleh ahli Hadis.
Kitab Sumber yang Dipergunakan Oleh Seorang Guru dalam Metode Qirâ’ah
Ketika kitab sumber yang dipakai oleh seorang guru Hadis pada saat dibacakan Hadis padanya berada di tangan seseorang yang dapat dipercaya, di samping orang itu juga mampu menjaga apa yang telah dibacanya, dan ia menguasai kitab itu. Jika guru Hadis tersebut hafal isi Hadis yang dibacanya, maka apa yang dilakukan guru Hadis itu sama seperti memegang kitab aslinya, bahkan ia telah melakukan yang lebih baik. Tapi jika ia tidak hafal, ada pendapat yang menyebutkan bahwa samâ’nya tidak shahîh. Sedang menurut pendapat lain yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan banyak dipakai di kalangan ahli Hadis bahwa samâ’ dengan cara demikian sudah dapat dibenarkan.
Jika kitab sumber itu berada di tangan seorang pembaca yang terpercaya tingat keberagamaan dan intelektualitasnya, menurut pendapat yang dapat dianggap benar, lebih tepat untuk dibenarkan. Dan ketika sumber itu berada di tangan seorang pembaca yang tak terpercaya, maka samâ’nya tidak dapat dibenarkan. Ini jika guru Hadisnya tidak hafal materi Hadis yang terdapat dalam kitab sumbernya.
Membacakan Hadis di Hadapan Seorang Guru Hadis
Ketika seorang rawi membacakan Hadis di hadapan seorang guru dengan mengatakan, “Akhbaraka fulân” (Fulan meriwayatkan Hadis padamu) atau yang sejenisnya, dan gurunya itu berkonsentrasi penuh pada bacaannya, memahami isi bacaannya, juga tidak mengingkari apa yang dibacanya, samâ’ yang dilakukan rawi itu telah dapat dibenarkan dan Hadisnya dapat diriwayatakan. Tidak ada persyaratan, menurut pendapat yang ditetapkan oleh jumhur para ahli Hadis, adanya penegasan langsung dari seorang guru mengenai kebenaran Hadis itu. Namun pengikut-pengikut mazhab Syâfi’iyah dan mazhab Zhâhiriyah memberikan kriteria itu.
Ibn al-Shabbâgh al-Syâfi’î mengatakan , “Seorang rawi tidak harus mengatakan “haddatsanî”, tapi ia hanya diharuskan untuk mengamalkan isi Hadis yang diriwayatkan dan meriwayatkannya dengan mengatakan, “Qurî’a ‘alaih” (Hadis ini dibacakan padanya).
Istilah Teknis yang Digunakan dalam Metode Samâ’ dan Metode Qirâ’ah
Al-Hâkim mengatakan bahwa pendapat yang merupakan kecenderungannya dan merupakan kecenderungan umum mayoritas gurunya dan imam-imam Hadis yang satu masa dengannya mengenai istilah teknis yang dipergunakan ketika seorang rawi mendengar dan membacakan suatu Hadis. Pertama, jika ia mendengar suatu redaksi Hadis dari seorang guru dan ia sendirian saat itu, istilah teknis yang digunakan adalah “haddatsanî”. Kedua, jika ia mendengarnya bersama kawan-kawannya yang lain, istilah teknis yang digunakan adalah “haddatsanâ”. Ketiga, jika ia membacakan Hadisnya di hadapan seorang guru dan ia sendiri saat itu, maka istilah teknis yang digunakan adalah “akhbaranî”. Keempat, jika ia membacakan Hadisnya bersama rekan-rekannya yang lain, maka istilah teknis yang digunakan adalah “akhbaranâ”. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahb. Menurut Ibn al-Shalâh pendapat ini merupakan salah satu pendapat yang sangat baik.
Jika rawi itu ragu apakah Hadisnya itu diterimanya sendirian atau bersama rekan-rekannya yang lain, maka sebaiknya ia menggunakan istilah teknis “haddatsanî” atau “akhbaranî”, bukan “akhbaranâ” atau “haddatsanâ”. Sesuai kesepakatan para ulama Hadis, istilah-istilah teknis ini merupakan hal-hal yang sifatnya anjuran.
Untuk Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya para ulama, tidak diperbolehkan mengganti “haddatsanâ” dengan “akhbaranâ” atau sebaliknya. Sedang mengenai penggantian redaksi yang diterima dari seorang ahli Hadis masih terjadi beda pendapat di kalangan ulama, tergantung sikap yang bersangkutan dalam menanggapi periwayatan bi al-ma’nâ (meriwayatkan kandungan makna Hadis). Jika orang yang bersangkutan memperbolehkan penggunaan kedua istilah itu, tentu tidak akan ada masalah. Namun jika yang bersangkutan tidak memperbolehkan, maka tidak diperbolehkan melakukan penggantian dua istilah teknis di atas.
Seorang Murid dan Guru Hadis yang Merubah Tulisannya Pada Saat Membacakan Hadis
Ibrâhîm al-Harbî, Ibnu ‘Adiy, Abû Ishâq al-Isfarâyînî al-Syâfi’î mengatakan bahwa penerimaan Hadis seperti ini belum dapat dibenarkan. Namun Mûsâ bin Hârûn al-Hammâl dan ulama lainnya mengganggap hal ini sebagai suatu kegiatan yang legal. Abû Bakar al-Shibghî al-Syâfi’î berpendapat bahwa seorang rawi dalam menyampaikan sebuah Hadis sebaiknya menggunakan istilah teknis “hadlartu” dan tidak menggunakan istilah teknis “akhbaranâ” dan “haddatsanâ”. Namun yang tepat adalah melihatnya secara proporsional.
Jika rawi itu memahami apa yang dibacanya, maka samâ’nya dapat dianggap benar. Sebaliknya, jika ia tidak memahami, maka samâ’nya tidak dapat dibenarkan. Perbedaan pendapat ini berlaku pada saat seorang guru Hadis menyampaikan sebuah Hadis. Juga ketika seorang pendengar (murid Hadis) menyampaikan Hadis pada orang lain. Di samping ketika pembacanya terlalu cepat atau terlalu lambat dalam membaca. Atau ia terlampau jauh dari sumber suara, sampai-sampai ia tidak mampu memahami. Dalam situasi-situasi seperti ini, menurut pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa hal itu masih dapat dimaklumi, jika yang dirubah hanya sekitar dua kata.
Seorang guru Hadis dianjurkan memberikan ijâzah periwayatan kitab itu pada orang-orang yang telah mendengar Hadisnya. Jika ia hanya menuliskan Hadisnya hanya untuk salah seorang dari pendengarnya, maka ia harus menuliskan “sami’ahu minnî wa ajaztu lahu riwâyatahu” (ia mendengar Hadis ini dariku dan aku mengijâzahkan periwayatan Hadis ini padanya). Hal inilah sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagaian ahli Hadis.
Jika tempat belajar guru yang mendektekan (mumlî) itu terlalu luas sedang yang menyampaikan Hadisnya adalah orang yang ditugaskan untuk mendektekan Hadis (mustamlî) oleh guru Hadis itu, menurut ulama mutaqaddimin dan lainnya, bahwa diperbolehkan bagi orang-orang yang hanya mendengar Hadisnya dari mustamlî meriwayatkan Hadis dengan mengatakan bahwa Hadisnya itu langsung diterima dari mumlî. Namun yang dipandang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para muhaqqiq bahwa hal itu tidak dapat dibenarkan.
Ahmad bin Hanbal memberikan komentar mengenai sebuah huruf yang didengungkan oleh seorang guru hingga salah satu kalimat dalam Hadis itu tidak dapat dipahami, padahal huruf itu telah cukup dikenal. Ahmad mengatakan bahwa hal itu tidak mengganggu periwayatan rawi itu dari gurunya. Sedang mengenai suatu kata yang ia pahami berdasarkan interpretasi mustamlî, Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tidak ada masalah dengan periwayatan kalimat itu, jika kata itu tergabung menjadi satu. Namun Khalâf bin Sâlim lebih setuju untuk melarang hal ini.
Samâ’ dari Balik Tabir
Samâ’ di balik tabir diperbolehkan, ketika masih dapat didengar suara gurunya. Ini jika gurunya meriwayatkan Hadisnya dengan redaksi guru tersebut. Atau diketahui kehadiran gurunya itu di suatu tempat, di mana ia dapat mendengar gurunya, jika Hadisnya itu diriwayatkan dengan memakai metode dibacakan. Dan untuk mengetahui hal-hal tersebut sudah dianggap cukup dengan hanya didasarkan pada pemberitahuan seorang yang dikenal tsiqah. Syu’bah mensyaratkan bahwa seorang rawi harus melihat gurunya. Namun kriteria yang diajukan Syu’bah ini bertentangan dengan pendapat yang dipandang benar oleh jumhur ulama.
Pelarangan Periwayatan dari Seorang Guru Hadis
Ketika seorang guru Hadis pada saat meriwayatkan Hadis mengatakan. “Jangan riwayatkan Hadis ini dariku”, “Aku menarik kembali periwayatanku”, dan yang sejenisnya, dengan tanpa memberi embel-embel bahwa hal itu dilakukan karena terdapat kesalahan atau keraguan pada Hadis yang telah diriwayatkannya, hal itu tidak dapat menghalangi periwayatan seorang rawi terhadap Hadis itu.
Jika seorang guru hanya mengkhususkan suatu periwayatan Hadisnya pada suatu kelompok masyarakat, namun ada pihak lain yang juga mendengar periwayatan itu tanpa sepengetahuan guru itu, pihak lain itu tetap diperbolehkan meriwayatkan Hadis itu. Meskipun ia mengatakan, “Aku meriwayatakan Hadis pada kalian bukan pada fulan”, hal ini pun tidak menghalangi kesahihan periwayatan fulan. Pendapat ini dikemukan oleh Abû Ishâq.
3. Memberi Lisensi Periwayatan (Ijâzah)
Metode ijâzah terbagi ke dalam beberapa macam. Pertama, seorang guru Hadis memberi lisensi pada seorang murid yang telah ditentukan untuk hanya meriwayatkan suatu kitab Hadis yang telah ditentukan, seperti dalam kalimat berikut ini, “Aku berikan lisensi padamu untuk meriwayatkan seluruh Hadis yang terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî” atau “Aku berikan lisensi padamu Hadis-hadis yang terkandung dalam daftar isi kitabku”. Ini merupakan jenis ijâzah yang tertinggi dan tidak terkait dengan metode munâwalah.
Menurut pendapat yang dikemukan oleh jumhur beberapa kelompok ulama bahwa ijazâh seperti ini boleh untuk diriwayatkan dan dipergunakan. Namun ada sebagian kelompok ulama lainnya yang menolak menggunakan model ini. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari al-Syâfi’î. Menurut sebagian ulama pengikut aliran Zhâhiriyah, model ijâzah ini tidak dapat dipergunakan, seperti layaknya Hadis mursal. Dan menurut penulis, ini merupakan pendapat yang salah.
Kedua, seorang guru Hadis memberi lisensi pada seorang murid yang telah ditentukan untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang tidak ditentukan, seperti dalam kalimat berikut ini, “Aku berikan lisensi padamu untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang telah aku terima”. Dalam model ini, perbedaan pendapat yang terjadi lebih banyak dan lebih rumit daripada perbedaan pendapat yang terjadi pada model sebelumnya. Jumhur beberapa kelompok ulama membolehkan meriwayatkan dengan menggunakan ijâzah cara kedua ini dan mereka mewajibkan penggunaannya.
Ketiga, seorang guru Hadis memberi lisensi pada seseorang yang tidak ditentukan untuk meriwayatkan Hadis dengan cara umum, seperti dalam kalimat berikut ini, “Aku memberi lisensi kepada semua kaum muslimin”, “Aku memberi lisensi pada setiap orang”, atau “Aku memberi lisensi pada orang-orang yang sejaman denganku”.
Dalam metode ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli Hadis mutaakhkhirin. Jika ia memberi catatan model ijâzahnya dengan memberi batasan yang jelas, maka akan lebih tepat untuk dibolehkan. Di kalangan ahli Hadis yang membolehkan model ijâzah ini, diantaranya, al-Qâdlî Abû Thayyib, al-Khathîb, Abû ‘Abd Allâh bin Mandah, Ibnu ‘Attâb, Abû al-‘Alâ’ dan beberapa ulama lainnya.
Menurut Ibn al-Shalâh, belum pernah diketahui ada seorang imam yang mempunyai pengikut melakukan periwayatan dengan cara ini. Namun menurut penulis, yang nampak dari pendapat yang dikemukan oleh orang-orang yang membolehkan periwayatan dengan cara ini adalah kebolehan meriwayatkan dengan cara ini. Dan ini cukup dijadikan alasan untuk membenarkan periwayatan dengan cara ini. Karenanya, apa gunanya ijâzah cara yang terakhir ini, kalau ijâzah cara ini tidak dapat dipergunakan untuk meriwayatkan.
Keempat, memberikan lisensi pada seseorang yang telah ditentukan untuk meriwayatkan suatu kitab yang tidak diketahui. Atau memberi lisensi pada seseorang yang tidak dikenal untuk meriwayatkan suatu kitab yang telah ditentukan, seperti “Aku memberi lisensi untuk meriwayatkan kitab sunan”, padahal ia meriwayatkan beberapa kitab sunan. Atau seperti “Aku memberi lisensi pada Muhammad bin Khâlid al-Dimasyqî”. Ada beberapa kelompok ahli Hadis yang mencampuradukkan penggunaan istilah ini. Dan itu merupakan sikap yang salah.
Jika guru tersebut memberikan lisensi pada beberapa orang yang disebutkan namanya saat memberikan lisensi atau pada saat yang lain, dan ia tidak mengetahui identitas, marga, jumlah dan tulisannya, ijâzah dengan cara demikian masih dapat dibenarkan. Seperti halnya mereka menerima Hadis langsung dari guru itu, pada situasi yang sama di majlis belajar guru tersebut.
Mengenai ijâzah “Aku memberi lisensi pada siapa saja yang dikehendaki fulan” dan yang sejenisnya, sedang pada orang itu banyak hal yang tidak diketahui dan banyak catatan khusus mengenai orang itu, menurut pendapat yang kuat, hal itu tidak dapat dibenarkan. Pendapat ini ditetapkan oleh al-Qâdlî Abû al-Thayyib al-Syâfi’î. Dan ini dibenarkan oleh Abû al-Farrâ’ al-Hanbalî, dan Ibnu ‘Umrûs al-Mâlikî.
Jika seorang guru Hadis mengatakan “Aku memberi lisensi bagi siapapun yang berkenan dengan lisensi ini”, maka ini akan sama halnya dengan ia mengatakan “Aku memberi lisensi kepada siapa saja yang dikehendaki fulan”, padahal yang bersangkutan lebih banyak tidak diketahui. Jika ia mengatakan, “Aku memberi lisensi pada siapa saja yang menghendaki periwayatan dariku”, maka ini lebih tepat untuk dibolehkan. Karena ini merupakan penjelasan mengenai kesesuaian situasinya.
Jika ia mengatakan, “Aku memberi lisensi pada fulan tentang hal ini, jika ia menghendaki untuk meriwayatkan Hadis ini dariku”, “Aku memberi lisensi padamu jika kamu menghendaki”, “Aku memberi lisensi padamu jika kamu suka”, atau “Aku memberi lisensi padamu jika kamu menginginkan”, maka pendapat yang lebih kuat adalah membolehkan model ijâzah seperti ini.
Kelima, memberi lisensi pada seseorang yang belum ada, seperti :”Aku memberi lisensi pada seorang anak yang akan dilahirkan fulan”. Beberapa ulama Hadis mutaakhkhirin berbeda pendapat mengenai kesahihan model ijâzah seperti ini. Tapi jika ia menyandingkan orang yang belum ada dengan orang yang telah ada, seperti “Aku memberi lisensi pada fulan dan anak-anak yang akan terlahir darinya”, “Aku memberi ijazah padamu dan keturunan-keturunanmu”, maka ini lebih tepat untuk diperbolehkan.
Yang terakhir inilah banyak dilakukan oleh beberapa ahli Hadis, diantaranya Abû Bakar bin Abî Dâud. Sedang al-Khathîb lebih cenderung untuk membolehkan model ijâzah kategori yang pertama. Ini didasarkan informasi dari Ibn al-Farrâ’ dan Ibnu ‘Umrûs. Namun hal ini digugat oleh Abû al-Thayyib dan Ibnu al-Shabbâgh, dua tokoh Hadis beraliran fikih Syâfi’iyah. Dan ini merupakan pendapat yang dipandang tepat. Sebaiknya tidak menggunakan ijâzah lain selain ijâzah dalam kategori yang pertama. Mengenai pemberian lisensi pada seorang anak kecil yang belum tamyîz, menurut pendapat yang sahih yang ditetapkan oleh Abû al-Thayyib dan al-Khathîb, dapat dibenarkan. Ini berbeda dengan pendapat beberapa ahli Hadis yang lain.
Keenam, pemberian lisensi pada sebuah Hadis yang tidak diterima oleh orang yang memberikan lisensi (mujîz) pada salah satu cara (baik itu samâ’ maupun dengan ijâzah), agar orang yang diberi lisensi (mujâz) dapat meriwayatkan Hadis tersebut, ketika Hadis itu diterima oleh mujîz. Al-Qâdlî ‘Iyâdl mengatakan, “Aku tidak melihat seorang pun yang berpendapat mengenai hal itu. Aku hanya melihat beberapa ahli Hadis mutaakhkhirin melakukan cara ini”.
Lalu ia menginformasikan bahwa Qâdlî Qurthubah Abû al-Walîd melarang hal itu. Menurut ‘Iyâdl, pendapat inilah yang paling benar. Dengan demikian, menjadi jelas bagi seseorang yang hendak meriwayatkan suatu Hadis dari seorang guru yang telah memberinya lisensi untuk meriwayatkan semua Hadis yang diterima gurunya itu, dan tetap meneliti sampai ia tahu bahwa Hadis-hadis itu adalah di antara Hadis yang diterima oleh gurunya, sebelum gurunya memberikan lisensi itu.
Sedang mengenai pernyataan seorang guru yang mengatakan, “Aku memberi lisensi padamu Hadis-hadis yang shahîh atau Hadis-hadis shahîh yang ada padamu di antara Hadis-hadis yang aku terima”, pernyataan ini dapat dibenarkan dan bisa diriwayatkan, ketika Hadis yang diterimanya itu benar-benar shahîh, sebelum ia memberikan ijâzah. Dan hal ini pernah dilakukan oleh al-Dâruquthnî dan ulama lainnya.
Ketujuh, pemberian lisensi oleh seorang yang mendapat lisensi (ijâzah al-mujâz), seperti “Aku memberi lisensi padamu untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang aku peroleh dari ijâzah”. Sebagian orang yang belum diakui melarang hal ini. Namun yang benar dan berlaku di kalangan ahli Hadis, bahwa hal itu bisa dipergunakan. Pendapat ini ditetapkankan oleh beberapa orang hâfizh Hadis, seperti al-Dâruquthnî, Ibnu ‘Uqdah Abû Nu’aim, dan Abû al-Fath al-Maqdisî.
Abû al-Fath sendiri meriwayatkan dengan cara mengijâzahkan Hadis-hadis yang ia peroleh dari ijâzah. Kadang ia mempraktekan sampai tiga kali periwayatan melalui ijazah berturut-turut. Seorang rawi melalui cara ijâzah sebaiknya meneliti dengan cermat ijâzahnya, agar ia tidak sampai meriwayatkan Hadis-hadis yang tidak masuk dalam materi ijâzahnya.
Jika ijâzah kakek guru seorang rawi berbentuk seperti berikut, “Aku memberi lisensi padanya (guru rawi) Hadis-hadis shahîh yang ada padanya di antara Hadis-hadis yang telah aku terima”, kemudian ia melihat bahwa Hadis itu memang benar-benar diterima kakek gurunya itu. Pada titik ini, ia tidak boleh langsung meriwayatkan Hadis itu dari gurunya yang mendapatkan Hadis itu dari kakek gurunya, sampai ia tahu bahwa keberadaan Hadis itu benar-benar berasal dari Hadis-hadis yang diterima oleh gurunya.
Definisi Ijâzah
Abû al-Hasan bin Fâris mengatakan bahwa secara kebahasaan, kata ijâzah berasal dari kata ”jawâz al-mâ’ al-ladzî tusqâhu al-mâsyiyatu wa al-harts” (laluan air yang diminumkan pada hewan ternak dan tanah garapan). Karenanya, muncul ungkapan ”istajaztuhu fa ajâzanî” (aku mintakan minum padanya dan ia memberi minum padaku). Ungkapan ini dikatakan pada saat seseorang memberi kita air untuk hewan ternak dan tanah kita.
Begitu pula seorang pelajar Hadis. Ia adalah seorang yang meminta ijin pada seorang yang lebih senior ilmunya untuk diambil ilmunya dan orang yang berilmu itu memberinya ijin. Dengan demikian, boleh dikatakan, “Aku memberi lisensi pada fulan semua Hadis yang telah aku terima”. Dan seseorang yang menjadikan ijâzah sebagai suatu perantara untuk memberi ijin—dan inilah yang umum terjadi—akan mengatakan, “Aku memberi lisensi padanya untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang telah aku terima”. Juga ketika ia mengatakan, “Aku memberi lisensi padanya semua Hadis-hadis yang aku terima”, dengan tanpa menyebut kata “periwayatan”, seperti yang terdapat pada ungkapan-ungkapan yang sejenis.
Para ahli Hadis berpendapat bahwa suatu ijâzah sebaiknya diberikan ketika mujîz mengerti mengenai materi ijâzahnya, di samping bahwa mujâz juga dikenal sebagai seorang yang berilmu. Persyaratan ini ditetapkan oleh sebagian ahli Hadis dan informasi ini bersumber dari Mâlik. Ibnu ‘Abd al-Barr mengatakan bahwa menurut pendapat yang benar, ijâzah tidak diperbolehkan diberikan, kecuali pada orang yang mempunyai kemampuan dalam ilmu Hadis, untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang telah ditentukan di mana sanadnya tidak menemui kendala. Bagi seorang yang menerima ijâzah dengan menuliskan Hadisnya sebaiknya membacakan materi Hadis itu. Jika ia hanya membatasi pada kegiatan menulis ijâzah saja, periwayatannya telah dapat dibenarkan.
4. Penyerahan (Munâwalah)
Munâwalah terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, munâwalah yang disertai dengan ijâzah. Kedua, munâwalah yang tidak disertai dengan ijâzah. Secara mutlak, bagian pertama merupakan tingkat tertinggi dalam ijâzah. Metode yang dipergunakan dalam hal ini, diantaranya, seorang guru Hadis menyerahkan kitab sumbernya atau kitab salinannya pada muridnya. Pada saat itu, ia mengatakan, “Ini adalah Hadis yang aku terima”, atau “Ini adalah Hadis yang aku riwayatkan dari fulan dan kamu boleh meriwayatkannya”. Kemudian kitab itu ditinggalkan oleh guru tersebut untuk selanjutnya menjadi hak milik muridnya. Atau guru tersebut membuatkan salinan untuk muridnya. Di samping ada beberapa cara yang lainnya.
Metode lainnya, misalnya, seorang pelajar Hadis menyerahkan kitab yang berisi mengenai Hadis-hadis yang diterimanya kepada gurunya. Hadis itu kemudian diteliti oleh gurunya. Dan gurunya itu secara sadar melakukan pengkajian terhadap Hadis-hadis itu. Selanjutnya guru tersebut menyerahkan kembali kitab itu pada muridnya. Ia lalu mengatakan, “Ini adalah Hadisku”, atau “Ini adalah periwayatanku, silakan riwayatkan Hadis-hadis ini dariku”. Atau gurunya itu mengatakan, “Aku memberi lisensi padamu untuk meriwayatkannya”. Inilah yang disebut dengan ‘ardl (sorogan) oleh banyak ahli Hadis. Di atas telah disebutkan bahwa membacakan Hadis pada seorang guru (qirâ’ah ‘alâ al-syaikh) juga disebut ‘ardl. Karenanya, ‘ardl pada pembahasan kita kali ini disebut sebagai ‘ardl al-munâwalah. Dan ‘ardl yang sebelumnya disebut dengan ‘ardl al-qirâ’ah.
Munâwalah dengan metode ini, menurut al-Zuhrî, Rabî’ah, Yahyâ bin Sa’îd al-Anshârî, Mujâhid, al-Sya’bî, ‘Alqamah, Ibrâhîm, Abû al-Âliyah, Abû al-Zubair, Abû al-Mutawakkil, Mâlik, Ibnu Wahb, Ibn al-Qâsim, dan beberapa ahli Hadis lainnya, sama kuatnya dengan penerimaan Hadis dengan metode samâ’. Namun menurut pendapat yang lebih tepat menyebutkan bahwa metode ini berada satu tingkat di bawah samâ’. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyân al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn al-Mubârak, Abû Hanifah, al-Syâfi’î, al-Buwaitî, al-Muzanî, Ahmad, Ishâq, dan Yahyâ bin Ahmad. Menurut al-Hâkim, inilah pendapat yang dianut oleh para imam kita dan kita pun mengikutinya.
Metode ijâzah yang lain, misalnya, seorang guru Hadis menyerahkan Hadis yang diterimanya kepada muridnya dan kemudian Hadis itu ia ijâzahkan pada muridnya itu. Namun naskah Hadisnya itu tidak ia serahkan pada muridnya. Ini berbeda dengan metode di atas. Periwayatan ini bisa dipergunakan sebagaimana ijâzah murni, ketika ia menemukan kitab sumber atau salinan kitabnya yang diakui sama dengan Hadis yang diterima melalui ijâzah. Pada metode munâwalah ini tidak nampak adanya keistimewaan yang menonjol melebihi ijâzah murni pada beberapa kitab tertentu.
Sekelompok ahli Hadis dan para pakar ushul fikih menyatakan bahwa ijâzah dengan metode ini tidak banyak kegunaannya. Namun para ahli Hadis, baik yang mutaqaddimin maupun yang mutaakhkhirin, melihat adanya keistimewaan pada metode ini yang patut diapresiasi. Metode lainnya yang menarik dikaji, seperti seorang pelajar Hadis yang mendatangi gurunya. Pada kesempatan itu, ia mengatakan pada gurunya, “Ini Hadis yang Anda riwayatkan. Mohon kiranya Anda berkenan menyerahkan dan memberi lisensi padaku untuk bisa meriwayatkannya”. Atas permintaan itu, gurunya itu mengkabulkan begitu saja permintaan itu, tanpa meneliti kembali dan memeriksa dengan seksama materi Hadis yang terdapat pada periwayatan itu. Metode periwayatan seperti ini tidak dapat dibenarkan.
Namun jika guru itu percaya akan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki muridnya, di mana ia boleh melakukan hal itu dan periwayatannya dapat dibenarkan, seperti halnya periwayatan melalui metode qirâ’ah. Jika ia mengatakan, “Riwayatkan dariku Hadis-hadis yang terdapat di dalamnya, jika itu memang Hadisku. Dan aku tidak bertanggung jawab jika terdapat kesalahan pada periwayatanmu”, periwayatan yang demikian dinilai baik dan dapat dibenarkan.
Bagian berikutnya adalah, munâwalah yang tidak disertai ijâzah. Contoh metode ini, seorang guru Hadis yang menyerahkan kitabnya tapi ia memberi batasan hanya pada Hadis yang diterimanya saja. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh ahli fikih dan ushul fikih bahwa periwayatan seperti ini tidak diperbolehkan. Namun pendapat ini dicibir oleh para ahli Hadis yang membolehkan periwayatan seperti ini.
“Haddatsanâ” dan “Akhbaranâ” Pada Metode Munâwalah
Al-Zuhrî, Mâlik dan para ulama lainnya membolehkan penggunaan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” pada periwayatan metode munâwalah. Ini merupakan hasil kesimpulan para ahli yang memposisikan ijâzah berada di posisi yang sama dengan samâ’. Abû Nu’aim al-Isfahânî dan ulama lainnya menginformasikan bahwa hal itu diperbolehkan hanya untuk ijâzah murni.
Namun pendapat yang dipegang oleh jumhur ahli Hadis dan para muhaqqiq, melarang penggunaan dua istilah teknis itu. Pada metode munâwalah, ijâzah dan yang sejenisnya, mereka memberikan istilah tambahan untuk menspesifikasi penggunaan masing-masing istilah teknis itu. Seperti “haddatsanâ atau akhbaranâ ijâzatan” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara memberikan lisensi), “haddatsanâ aw akhbaranâ munâwalatan wa ijâzatan” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan munâwalah dan ijâzah), “haddatsanâ aw akhbaranâ idznan” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara memberi ijin), “haddatsanâ aw akhbaranâ fî idznihi” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan sepengetahuan dan ijin darinya), “haddatsanâ aw akhbaranâ fîmâ adzina lî fîhi” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami untuk meriwayatkan Hadis-hadis dalam kitab yang diijinkan untuk aku riwayatkan), “haddatsnâ aw akhbaranâ fîmâ athlaqa lî riwâyatahu” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami untuk Hadis-hadis yang ia sebutkan padaku sebagai periwayatannya), “haddatsnâ aw akhbaranâ ajâzanî aw lî” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan pemberian lisensi padaku untuk meriwayatkannya), “haddatsanâ aw akhbaranâ nâwalanî” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara menyerahkannya padaku), dan ungkapan-ungkapan yang sejenisnya.
Sedang al-Auzâ’î menspesifikasikan penggunaan “khabbaranâ” untuk ijâzah dan “akhbaranâ” untuk qirâ’ah. Di bagian lain, sekelompok ulama mutaakhkhirin lebih cenderung menggunakan “anba’anâ” untuk ijâzah. Dan pendapat ini dipilih oleh penulis kitab al-Wijâdah. Lain lagi dengan al-Baihaqî. Ia secara khusus menggunakan istilah teknis yang ia buat sendiri, “anba’anî ijâzatan”.
Al-Hâkim mengatakan bahwa pendapat yang dipilihnya dan telah di konfirmasikan pada mayoritas guru-guru dan imam-imam yang semasa dengannya, mengenai Hadis yang disorogkan pada seorang ahli Hadis sedang ahli Hadis itu memberikan lisensi secara oral, ia harus mengatakan, “Anba’anî”. Sedang untuk Hadis yang ia sorogkan pada seorang ahli Hadis dengan cara ahli Hadis itu mengirimkan surat padanya, ia harus katakan, “Kataba ilayya” (Ia menuliskan Hadis ini kepadaku).
Abû Ja’far bin Hamdân menegaskan bahwa setiap yang dikatakan oleh al-Bukhârî dalam Shahîh al-Bukhârî, “Qâla lî fulân” (fulan mengatakannya padaku), merupakan periwayatan yang diterima al-Bukhârî melalui cara ‘ardl dan munâwalah. Sekelompok ahli Hadis menggunakan ungkapan teknis “akhbaranâ fulânun anna fulanan haddatsahu aw akhbarahu” (fulan meriwayatkan pada kami bahwa fulan lainnya meriwayatkan Hadis ini kepadanya) untuk periwayatan dengan cara ijâzah. Pendapat inilah yang dipilih dan diinformasikan al-Khaththâbî. Tapi pendapat ini lemah.
Para ulama mutaakhkhirin menggunakan “’an” untuk ijâzah yang terjadi pada periwayatan rawi-rawi yang di atas gurunya. Rawi yang menerima Hadis dari gurunya melalui cara ijâzah yang diterima dari kakek gurunya, mengatakan, “Aku bacakan Hadis ini pada fulan dari fulan (kakek gurunya)”. Sedang pelarangan penggunaan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” tetap berlaku meski rawi yang memberi lisensi tidak melarang hal itu.
5. Menuliskan (Kitâbah)
Dalam metode ini, seorang guru Hadis menuliskan Hadis yang diterimanya untuk murid-muridnya yang hadir dan yang tidak hadir, baik Hadisnya itu ia tulis sendiri atau merupakan tulisan orang lain yang diperintahnya. Metode ini terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, kitâbah yang tidak disertai dengan ijâzah. Kedua, kitâbah yang disertai dengan ijâzah. Kitâbah yang terakhir disebutkan, dalam tingkat kekuatan dan kesahihannya, berada dalam satu tingkat dengan munâwalah yang disertai dengan ijâzah. Adapun kitâbah murni, sekelompok ahli Hadis melarang periwayatan dengan menggunakan kitâbah dengan cara ini. Salah satu ahli Hadis yang melarang penggunaan kitâbah ini adalah al-Qâdlî al-Mâwardî al-Syâfi’î.
Namun sebagian besar ahli Hadis mutaqaddimin dan mutaakhkhirin tidak melarangnya. Di antara ulama itu ada beberapa ulama bermazhab Syâfi’iyah, seperti Ayyûb al-Sakhtiyânî, Manshûr, al-Laits, dan para pakar ushul fikih. Pendapat inilah yang tepat dan populer di kalangan ahli Hadis.
Dalam karya-karya mereka terdapat ungkapan-ungkapan seperti berikut ini, “Fulan menuliskan suatu Hadis ini padaku. Ia mengatakan fulan lainnya meriwayatkan Hadis ini pada kami”. Maksud dari ungkapan ini adalah realisasi dari pendapat mereka di atas. Ini memang sering dipergunakan di kalangan mereka. Ungkapan-ungkapan di atas juga banyak digunakan dalam Hadis maushûl. Ungkapan di atas dipergunakan, karena dirasa mempunyai kandungan makna yang sama dengan ijâzah.
Namun al-Sam’ânî menambahkan bahwa metode kitâbah lebih kuat dari ijâzah. Periwayatan dengan menggunakan metode kitâbah dianggap mencukupi dengan diketahuinya tulisan penulisnya. Meski di kalangan ahli Hadis ada yang mensyaratkan harus adanya saksi. Namun pendapat ini dinilai lemah.
Pendapat yang dianggap benar dalam masalah ini, bahwa seorang rawi cukup mengatakan, “Fulan menuliskan Hadis ini padaku. Ia mengatakan bahwa fulan (gurunya) meriwayatkan Hadis ini padanya”, “Fulan meriwayatkan Hadis ini dengan cara menuliskan Hadis ini atau kami sama-sama menulis”, atau ungkapan-ungkapan yang sejenis. Penggunaan “haddatsnâ” dan “akhbarana” dalam metode ini juga tidak diperbolehkan. Namun al-Laits, Manshûr, beberapa ahli Hadis dan pembesar-pembesarnya membolehkan penggunaan istilah teknis itu.
6. Pemberitahuan (I’lâm)
Dalam metode ini, seorang guru Hadis memberitahukan kepada muridnya bahwa Hadis atau kitab yang ada padanya itu adalah Hadis yang diterimanya dari gurunya dan ia tidak mengijinkan Hadisnya itu diriwayatkan, karena ia hanya memberitahukan Hadis itu pada muridnya. Mayoritas ahli Hadis, ahli fikih, ushul fikih, dan ulama beraliran Zhâhiriyah membolehkan periwayatan dengan cara ini. Di antara ulama-ulama itu, antara lain, Ibnu Juraij, Ibn al-Shabbâgh al-Syâfi’î, dan Abû al-Abbâs al-Ghamrî al-Mâlikî.
Sekelompok ulama Zhâhiriyah menyatakan bahwa jika seorang guru Hadis mengatakan, “Hadis ini adalah periwayatanku. Jangan engkau riwayatkan periwayatanku ini!”, maka komentar yang demikian bagi seorang murid Hadis tetap bisa dijadikan sebagai alasan bahwa periwayatan itu adalah periwayatannya dari gurunya tersebut. Namun pendapat yang tepat adalah pendapat yang disampaikan beberapa ahli Hadis dan ulama-ulama lainnya, bahwa periwayatan seperti di atas tidak diperbolehkan. Akan tetapi substansi Hadis itu tetap wajib diamalkan, jika sanadnya memang benar-benar shahîh.
7. Pesan (Washiyyah)
Dalam metode ini, seorang guru Hadis memberikan wasiat suatu kitab yang diriwayatkannya pada muridnya, ketika guru tersebut sudah mendekati ajalnya atau ia akan bepergian jauh. Sekelompok ulama kalangan salaf membolehkan metode ini, untuk seseorang yang memang diwasiati gurunya untuk meriwayatkan Hadis gurunya itu. Ini pendapat yang tidak tepat. Karena pendapat yang tepat menyatakan bahwa periwayatan seperti ini tidak dibenarkan.
8. Penemuan (Wijâdah)
Wijadah, secara tinjauan gramatikal Arab, merupakan derivasi berbentuk infinitif dari kata kerja “wajada”. Kata ini merupakan kata serapan yang ditemui dalam kata Arab. Dalam metode ini, seorang guru Hadis tidak melakukan apapun pada Hadis-hadis tulisan rawinya yang tidak diriwayatkan oleh wâjid (penemu Hadis itu). Kalau ini yang terjadi, maka ia harus mengatakan, “Aku menemukan atau membaca dalam tulisan fulan atau dalam kitabnya dengan tulisannya sendiri ‘fulan meriwayatkan Hadis ini pada kami’, kemudian ia menuturkan sanad dan matan Hadisnya seperti pada matan dan sanad Hadis sebelumnya.
Atau ia harus mengatakan, “Aku membaca tulisan fulan yang meriwayatkan Hadis dari fulan lainnya”. Inilah yang terus menerus dilakukan baik pada masa sekarang maupun masa lalu. Ini termasuk model gaya penuturan Hadis munqathi’. Namun di dalam metode ini ada semacam unsur campuran kemuttasilan. Dalam hal ini, sebagian ulama telah bertindak ceroboh dengan menggunakan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” pada metode ini. Untungnya banyak ahli yang tidak menyetujui tindakan ini.
Ketika seorang rawi menemukan sebuah Hadis dalam karya seseorang, ia harus katakan, “Fulan menyebutkan padaku”, atau “Fulan mengatakan bahwa Hadis ini diriwayatkan fulan pada kami”. Ini akan mengindikasikan kemunqati’an Hadis itu. Karena tidak ada unsur lain yang dapat mengindikasikan kemuttasilan periwayatan itu.
Ini semua dikatakan, jika ia percaya bahwa yang ada dalam kitab itu adalah tulisan penulisnya atau kitab itu memang benar-benar kitab penulisnya. Jika tidak, maka ia harus mengatakan, “Sampai suatu Hadis dari fulan padaku”, “Aku menemukan suatu Hadis darinya”, “Aku membaca pada suatu kitab bahwa fulan menceritakan bahwa Hadis itu adalah tulisan fulan”, “Aku menduga kitab Hadis itu adalah tulisan fulan”, “Penyalinnya menyebutkan Hadis itu adalah tulisan fulan”, “Penyalinnya menyebutkan bahwa kitab itu adalah karya fulan”, atau dikatakan “Dengan tulisan atau ini merupakan karya fulan”.
Ketika ia mengutip dari suatu karya tentang Hadis, ia tidak boleh mengatakan, “Fulan mengatakan”. Kecuali jika ia percaya dengan kebenaran tulisan itu, setelah membanding-bandingkan karya itu dengan karya-karya yang lain. Atau setelah ada seorang tsiqah melakukan perbandingan mengenai kebenaran tulisan itu. Jika itu tidak ditemukan atau keterangan-keterangan lainnya yang sejenis, ia harus mengatakan, ”Hadis ini sampai padaku”, atau “Aku menemukan pada suatu naskah di antara kitabnya”, dan yang sejenisnya. Banyak para ahli pada masa-masa belakangan ini yang mentolelir hal-hal di atas. Mereka dengan gampang menetapkan hal-hal di atas, dengan tanpa meberikan pelarangan apapun.
Pendapat yang benar adalah seperti pendapat yang telah kami sebutkan di atas. Jika yang melihat dan meneliti Hadis itu adalah seseorang yang mendalam pengetahuannya di mana secara umum tidak sampai ada yang terlewat sedikit pun darinya, jika terdapat rawi yang gugur (sâqith) atau rawi yang dirubah (mughayyar), maka masih bisa diharapkan untuk bisa menetapkan Hadis itu. Pada batas ini, banyak para penulis kitab yang tidak melakukan kegiatan pengutipan mereka.
Mengenai penggunaan metode wijâdah, dikutip dari sebagian ahli Hadis bermazhab Mâlikiyah dan ahli Hadis lainnya, bahwa kegiatan periwayatan dengan cara wijâdah tidak dapat dibenarkan. Sedang menurut pendapat yang dikutip oleh al-Syâf’iî dan para peneliti yang menjadi pengikutnya tidak melarang wijâdah. Sebagian muhaqqiq yang beraliran Syâfi’iyah bahkan mewajibkan untuk mengamalkan wijâdah, jika ditemukan ketsiqahan pada rawi-rawinya. Ini merupakan pendapat yang dipandang paling tepat di mana pada masa ini belum ada pendapat lain yang lebih kuat pijakan argumennya melebihi pendapat ini.
25. Penulisan Hadis dan Pemberian Syakal
Para ulama salaf berselisih pendapat mengenai kebolehan penulisan Hadis. Sekelompok ulama ada yang membolehkan, sedang kelompok lain melarangnya. Namun kemudian mereka sepakat untuk membolehkan hal itu. Masing-masing memiliki Hadis yang dijadikan sebagai dasar argumen kelompoknya masing-masing. Penulisan Hadis hanya dibolehkan untuk mereka yang gampang lupa jika Hadis yang diterimanya itu tidak ditulis. Bagi mereka yang tidak tergolong pelupa dan dikhawatirkan akan hanya mengandalkan tulisannya saja, penulisan Hadis dilarang untuknya. Juga dilarang, ketika dikhawatirkan akan terjadi pencampuradukan antara Hadis dengan al-Qur’an. Jika tidak demikian, maka penulisan itu dibolehkan.
Seorang penyalin Hadis diwajibkan untuk benar-benar memperhatikan pada pemberian syakal dan pentahqiqannya, baik syakal maupun titik-titiknya, hingga tidak terjadi kerancuan. Ada suatu pendapat yang mengatakan, “Hanya bagian yang dianggap akan memunculkan kendala (musykil) saja yang diberikan syakal. Suatu pendapat yang dikutip dari beberapa ahli menyatakan kemakruhan memberi titik dan i’râb, kecuali pada bagian-bagian yang dikhawatirkan akan memunculkan kerancuan.
Pemberian Syakal Pada Penulisan Nama
Seorang penyalin sebuah Hadis sebaiknya memperhatikan dengan serius pada penulisan bagian-bagian yang akan memunculkan kebingungan, terutama menyangkut masalah nama. Pemberian syakal pada bagian yang musykil dianjurkan pada kitab yang sama. Dan penulisannya dilakukan dengan memberikan syakal yang jelas di pinggir halaman depan bagian yang musykil itu.
Dianjurkan pula mentahqiq tulisan Hadis, dengan tanpa memberi contoh dan catatan tambahan pada tulisan itu. Bahkan dimakruhkan menelitinya secara detail. Kecuali jika ada satu alasan yang cukup kuat untuk melakukan hal itu, seperti kertasnya sempit, untuk meringankan kertasnya agar mudah dibawa dalam perjalanan, dan alasan-alasan lain yang sejenis.
Ia juga sebaiknya memberikan syakal pada huruf-huruf yang tidak bertitik. Ada yang berpendapat, di bawah huruf dâl, râ’, sîn, shâd, thâ’, ‘ain, diberikan titik seperti pada huruf-huruf padanannya yang diberikan titik di atasnya. Pendapat lain menyebutkan diberi titik di atasnya, seperti pada ungkapan “qulâmah al-zhufur mudlthaji’atan ‘alâ qafâhâ” (guntingan kuku dengan tiduran di atas tengkuknya). Ada pula yang berpendapat, di bawahnya diberi huruf kecil yang sama. Pada beberapa kitab-kitab klasik, di bagian atasnya diberi tulisan kecil. Beberapa kitab yang lain, huruf-huruf itu di bawahnya diberikan hamzah.
Ia sebaiknya tidak membuat istilah teknis sendiri dengan memberi rumus-rumus yang tidak diketahui orang lain. Jika ia harus melakukan hal itu, maka ia harus menjelaskan maksudnya di bagian awal atau di bagian akhir kitabnya. Ia juga harus serius memberikan perhatian pada pemberian syakal Hadis-hadis yang berbeda-beda periwayatannya. Dan ia harus dengan baik memilah-milahnya, sampai ia bisa menjadikan kitabnya berdasar pada satu periwayatan.
Untuk keterangan-keterangan tambahan, ia harus sisipkan pada bagian pinggir bukunya. Sedang untuk pengurangan-pengurangan yang ia ketahui atau perbedaan yang ia tuliskan, ia harus menjelaskan semua itu mengenai siapa yang meriwayatkannya, dengan menyebutkan secara lengkap namanya. Ia tidak boleh hanya menyebutkan nama itu dengan menggunakan rumus, kecuali jika ia telah menjelaskannya di bagian awal atau bagian akhir kitabnya. Sebagai pembeda, mayoritas ulama menganggap cukup dengan memberikan tinta merah.
Dan untuk penambahan keterangan penulisnya, sebaiknya dilakukan dengan tinta merah. Juga untuk kesalahan dan pengurangan salah satu bagian di dalamnya, ia juga sebaiknya menggunakan tinta merah. Itupun masih harus dijelaskan di bagian
Metode ini terbagi ke dalam delapan bagian. Berikut delapan metode itu secara terinci.
1. Mendengar (Samâ’) Hadis dari Redaksi Seorang Guru Hadis
Metode ini bisa berbentuk pendektean (imlâ’) Hadis atau yang lainnya, bisa dari hafalan dan bisa juga dari tulisan seorang guru Hadis. Menurut jumhur ahli Hadis, ini merupakan metode yang paling tinggi. Al-Qâdlî ‘Iyâdl mengatakan, “Telah disepakati bahwa dalam metode ini seorang rawi diperbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya: “Haddatsanâ” (Seorang guru meriwayatkan Hadis ini pada kami), “Akhbarana” (Seorang guru memberitakan Hadis ini pada kami), “Anba’anâ” (Seorang guru menceritakan Hadis ini pada kami), “Sami’tu fulânan wa qâla lanâ” (Aku mendengar fulan dan ia mengatakan tentang Hadis ini pada kami), dan “Sami’tu fulanân wa dzakara lanâ” (Aku mendengar fulan menyebutkan Hadis ini pada kami).
Menurut al-Khathîb, secara berurut tingkat ungkapan-ungkapan di atas mulai dari yang tertinggi adalah sebagai berikut, “sami’tu”, lalu “haddatsanâ”, lalu “haddatsanî”, baru kemudian “akhbaranâ”. Ungkapan yang terakhir ini (akhbaranâ) paling banyak dipergunakan oleh ahli Hadis. Tentu saja sistematisasi tingkat ungkapan ini dilakukan al-Khathîb, sebelum ungkapan “akhbaranû” itu lebih populer dikhususkan untuk menunjukkan bahwa Hadis dimaksud diterima dengan cara membacakan Hadis pada seorang guru (qirâ’ah ‘alâ al-syaikh).
Al-Khathîb melanjutkan sistematisasi urutan ungkapan-ungkapan yang dipergunakan dalam metode ini dengan menyebut “anba’anâ” (seorang guru menceritakan Hadis pada kami) dan “nabba’anâ” (seorang menceritakan Hadis ini pada kami). Ini disebut belakangan oleh al-Khathîb, karena dua ungkapan ini jarang sekali dipergunakan. Menurut Ibn al-Shalâh, “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” lebih tinggi tingkatannya daripada “sami’tu”, dari sisi yang lain. Karena pada “sami’tu” tidak terdapat indikasi bahwa seorang guru Hadis pernah meriwayatkan Hadisnya pada rawi itu. Berbeda dengan dua istilah teknis sebelumnya.
Sedang “qâla lanâ fulân” maupun “dzakara lanâ” sama dengan “haddatsanâ” dalam tingkat kemuttasilannya. Hanya saja ungkapan itu lebih tepat untuk penerimaan Hadis dengan cara mudzâkarah (berdiskusi). Karenanya, ungkapan tersebut dengan cara seperti ini, lebih mirip daripada “haddatsana”.
Tingkat terendah dalam ungkapan-ungkapan metode ini, adalah “qâla” atau “dzakara” tanpa disebutkan “lî” atau “lanâ”. Ini bisa juga dimaksudkan memang telah terjadi penerimaan Hadis, ketika telah diketahui adanya pertemuan (liqâ’) antara rawi dan gurunya, seperti cara yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan Hadis mu’dlal. Apalagi jika diketahui bahwa ia tidak mengatakan “qâla” kecuali pada Hadis-hadis yang ia terima dari gurunya.
Al-Khathîb mengkhususkan penyebaran Hadis dengan metode ini hanya untuk Hadis-hadis yang diterima dengan mendengar Hadisnya langsung dari seorang guru. Namun yang populer, itu tidak merupakan suatu kriteria.
2. Membacakan (Qirâ’ah) Hadis Pada Seorang Guru
Mayoritas ahli Hadis menyebut metode ini dengan sebutan‘ardl (sorogan). Dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan Hadisnya pada seorang guru. Atau orang lain yang membacakannya dan kita mendengarkannya dengan baik. Dan Hadis yang dibacanya itu bisa berasal dari sebuah kitab atau merupakan hafalannya.
Seorang guru Hadis, dalam metode ini, boleh saja meriwayatkan Hadisnya dari hafalannya. Ia juga boleh meriwayatkannya bukan dari hafalannya, jika dia telah berpedoman pada kitab sumber yang dirujuknya. Atau ia termasuk orang yang telah diakui ketsiqahannya. Dengan kriteria di atas, secara bulat disepakati, bahwa periwayatan ini dapat ditetapkan sebagai periwayatan yang shahîh. Kecuali beberapa pendapat dari orang-orang yang belum mendapat pengakuan, yang mempertanyakan keabsahan metode ini.
Hanya saja, para ahli Hadis berselisih pendapat mengenai tingkat akurasi dalam penerimaan redaksi Hadis seorang guru pada metode qirâ’ah dan metode samâ’. Ada yang menyatakan dua metode ini sama-sama mempunyai tingkat akurasi yang sama. Ada pula yang lebih mengunggulkan metode samâ’ daripada metode qirâ’ah. Pendapat lain lebih cenderung menggungulkan metode qirâ’ah daripada metode samâ’.
Kelompok yang berpendapat bahwa dua metode ini adalah sama dipelopori oleh Mâlik, murid-muridnya, dan para gurunya, ditambah mayoritas ulama Hijaz, ulama Kufah, al-Bukhârî, dan ulama-ulama lainnya. Sedang pendapat yang kedua didukung oleh jumhur ulama Masyriq dan pendapat ini merupakan pendapat yang bisa dipandang sebagai pendapat yang tepat. Pendukung pendapat ketiga dipelopori oleh Abû Hanîfah, Ibnu Abî Dzi’b, dan ulama lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Mâlik.
Dalam menggunakan metode qirâ’ah, yang paling baik seorang rawi mengatakan, “Qaratu ‘alâ fulân” (Aku bacakan Hadis ini pada fulan), “Qurî’a ‘alaih wa anâ asma’u fa aqarra bihi” (Hadis ini dibacakan pada guruku, aku mendengarnya baik-baik dan guruku mengakui bahwa Hadis itu benar darinya).
Selajutnya adalah ungkapan-ungkapan dalam metode samâ’ yang telah diberi tambahan keterangan, seperti “haddatsanâ qirâ’atan ‘alaih” (guruku meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara membacakan Hadis ini padanya), “akhbaranâ qirâ’atan ‘alaih” (guruku memberitakan Hadis ini pada kami dengan cara membacakan Hadis ini padanya), dan “ansyadanâ fî al-syi’r qirâ’atan ‘alaih” (guruku menembangkan suatu sya’ir pada kami dengan cara sya’ir itu dibacakan padanya).
Namun Ibn al-Mubârak, Yahyâ bin Yahyâ al-Tamîmî, Ahmad bin Hanbal, al-Nasâ’i dan ulama lainnya melarang penggunaan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” dalam metode ini. Meski demikian ada sekelompok ahli Hadis lainnya yang membolehkan menggunakannya. Suatu sumber mengatakan bahwa pendapat yang membolehkan ini dipelopori oleh al-Zuhrî, Mâlik, Ibnu ‘Uyainah, Yahyâ al-Qaththân, al-Bukhârî, beberapa kelompok ahli Hadis, mayoritas ulama Hijaz dan mayoritas ulama Kufah.
Di kalangan tokoh-tokoh ini juga ada yang membolehkan menggunakan “sami’tu” dalam metode qirâ’ah ini. Ada pula sekelompok ulama lainnya yang melarang menggunakan “haddatsanâ,” tapi mereka membolehkan menggunakan “akhbaranâ” dalam metode ini. Ini merupakan aliran yang dianut oleh al-Syâfi’î beserta murid-muridnya, Muslim bin Hajjâj, dan jumhur ulama Masyriq. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pendapat ini menjadi mazhab yang dianut oleh mayoritas ahli Hadis. Di samping bahwa pendapat itu banyak dikemukakan oleh ahli Hadis, seperti Ibnu Juraij, al-Auzâ’î, Ibnu Wahb, dan al-Nasâ’î. Dengan demikian, pendapat ini merupakan pendapat yang populer dan banyak dianut oleh ahli Hadis.
Kitab Sumber yang Dipergunakan Oleh Seorang Guru dalam Metode Qirâ’ah
Ketika kitab sumber yang dipakai oleh seorang guru Hadis pada saat dibacakan Hadis padanya berada di tangan seseorang yang dapat dipercaya, di samping orang itu juga mampu menjaga apa yang telah dibacanya, dan ia menguasai kitab itu. Jika guru Hadis tersebut hafal isi Hadis yang dibacanya, maka apa yang dilakukan guru Hadis itu sama seperti memegang kitab aslinya, bahkan ia telah melakukan yang lebih baik. Tapi jika ia tidak hafal, ada pendapat yang menyebutkan bahwa samâ’nya tidak shahîh. Sedang menurut pendapat lain yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan banyak dipakai di kalangan ahli Hadis bahwa samâ’ dengan cara demikian sudah dapat dibenarkan.
Jika kitab sumber itu berada di tangan seorang pembaca yang terpercaya tingat keberagamaan dan intelektualitasnya, menurut pendapat yang dapat dianggap benar, lebih tepat untuk dibenarkan. Dan ketika sumber itu berada di tangan seorang pembaca yang tak terpercaya, maka samâ’nya tidak dapat dibenarkan. Ini jika guru Hadisnya tidak hafal materi Hadis yang terdapat dalam kitab sumbernya.
Membacakan Hadis di Hadapan Seorang Guru Hadis
Ketika seorang rawi membacakan Hadis di hadapan seorang guru dengan mengatakan, “Akhbaraka fulân” (Fulan meriwayatkan Hadis padamu) atau yang sejenisnya, dan gurunya itu berkonsentrasi penuh pada bacaannya, memahami isi bacaannya, juga tidak mengingkari apa yang dibacanya, samâ’ yang dilakukan rawi itu telah dapat dibenarkan dan Hadisnya dapat diriwayatakan. Tidak ada persyaratan, menurut pendapat yang ditetapkan oleh jumhur para ahli Hadis, adanya penegasan langsung dari seorang guru mengenai kebenaran Hadis itu. Namun pengikut-pengikut mazhab Syâfi’iyah dan mazhab Zhâhiriyah memberikan kriteria itu.
Ibn al-Shabbâgh al-Syâfi’î mengatakan , “Seorang rawi tidak harus mengatakan “haddatsanî”, tapi ia hanya diharuskan untuk mengamalkan isi Hadis yang diriwayatkan dan meriwayatkannya dengan mengatakan, “Qurî’a ‘alaih” (Hadis ini dibacakan padanya).
Istilah Teknis yang Digunakan dalam Metode Samâ’ dan Metode Qirâ’ah
Al-Hâkim mengatakan bahwa pendapat yang merupakan kecenderungannya dan merupakan kecenderungan umum mayoritas gurunya dan imam-imam Hadis yang satu masa dengannya mengenai istilah teknis yang dipergunakan ketika seorang rawi mendengar dan membacakan suatu Hadis. Pertama, jika ia mendengar suatu redaksi Hadis dari seorang guru dan ia sendirian saat itu, istilah teknis yang digunakan adalah “haddatsanî”. Kedua, jika ia mendengarnya bersama kawan-kawannya yang lain, istilah teknis yang digunakan adalah “haddatsanâ”. Ketiga, jika ia membacakan Hadisnya di hadapan seorang guru dan ia sendiri saat itu, maka istilah teknis yang digunakan adalah “akhbaranî”. Keempat, jika ia membacakan Hadisnya bersama rekan-rekannya yang lain, maka istilah teknis yang digunakan adalah “akhbaranâ”. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahb. Menurut Ibn al-Shalâh pendapat ini merupakan salah satu pendapat yang sangat baik.
Jika rawi itu ragu apakah Hadisnya itu diterimanya sendirian atau bersama rekan-rekannya yang lain, maka sebaiknya ia menggunakan istilah teknis “haddatsanî” atau “akhbaranî”, bukan “akhbaranâ” atau “haddatsanâ”. Sesuai kesepakatan para ulama Hadis, istilah-istilah teknis ini merupakan hal-hal yang sifatnya anjuran.
Untuk Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya para ulama, tidak diperbolehkan mengganti “haddatsanâ” dengan “akhbaranâ” atau sebaliknya. Sedang mengenai penggantian redaksi yang diterima dari seorang ahli Hadis masih terjadi beda pendapat di kalangan ulama, tergantung sikap yang bersangkutan dalam menanggapi periwayatan bi al-ma’nâ (meriwayatkan kandungan makna Hadis). Jika orang yang bersangkutan memperbolehkan penggunaan kedua istilah itu, tentu tidak akan ada masalah. Namun jika yang bersangkutan tidak memperbolehkan, maka tidak diperbolehkan melakukan penggantian dua istilah teknis di atas.
Seorang Murid dan Guru Hadis yang Merubah Tulisannya Pada Saat Membacakan Hadis
Ibrâhîm al-Harbî, Ibnu ‘Adiy, Abû Ishâq al-Isfarâyînî al-Syâfi’î mengatakan bahwa penerimaan Hadis seperti ini belum dapat dibenarkan. Namun Mûsâ bin Hârûn al-Hammâl dan ulama lainnya mengganggap hal ini sebagai suatu kegiatan yang legal. Abû Bakar al-Shibghî al-Syâfi’î berpendapat bahwa seorang rawi dalam menyampaikan sebuah Hadis sebaiknya menggunakan istilah teknis “hadlartu” dan tidak menggunakan istilah teknis “akhbaranâ” dan “haddatsanâ”. Namun yang tepat adalah melihatnya secara proporsional.
Jika rawi itu memahami apa yang dibacanya, maka samâ’nya dapat dianggap benar. Sebaliknya, jika ia tidak memahami, maka samâ’nya tidak dapat dibenarkan. Perbedaan pendapat ini berlaku pada saat seorang guru Hadis menyampaikan sebuah Hadis. Juga ketika seorang pendengar (murid Hadis) menyampaikan Hadis pada orang lain. Di samping ketika pembacanya terlalu cepat atau terlalu lambat dalam membaca. Atau ia terlampau jauh dari sumber suara, sampai-sampai ia tidak mampu memahami. Dalam situasi-situasi seperti ini, menurut pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa hal itu masih dapat dimaklumi, jika yang dirubah hanya sekitar dua kata.
Seorang guru Hadis dianjurkan memberikan ijâzah periwayatan kitab itu pada orang-orang yang telah mendengar Hadisnya. Jika ia hanya menuliskan Hadisnya hanya untuk salah seorang dari pendengarnya, maka ia harus menuliskan “sami’ahu minnî wa ajaztu lahu riwâyatahu” (ia mendengar Hadis ini dariku dan aku mengijâzahkan periwayatan Hadis ini padanya). Hal inilah sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagaian ahli Hadis.
Jika tempat belajar guru yang mendektekan (mumlî) itu terlalu luas sedang yang menyampaikan Hadisnya adalah orang yang ditugaskan untuk mendektekan Hadis (mustamlî) oleh guru Hadis itu, menurut ulama mutaqaddimin dan lainnya, bahwa diperbolehkan bagi orang-orang yang hanya mendengar Hadisnya dari mustamlî meriwayatkan Hadis dengan mengatakan bahwa Hadisnya itu langsung diterima dari mumlî. Namun yang dipandang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para muhaqqiq bahwa hal itu tidak dapat dibenarkan.
Ahmad bin Hanbal memberikan komentar mengenai sebuah huruf yang didengungkan oleh seorang guru hingga salah satu kalimat dalam Hadis itu tidak dapat dipahami, padahal huruf itu telah cukup dikenal. Ahmad mengatakan bahwa hal itu tidak mengganggu periwayatan rawi itu dari gurunya. Sedang mengenai suatu kata yang ia pahami berdasarkan interpretasi mustamlî, Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tidak ada masalah dengan periwayatan kalimat itu, jika kata itu tergabung menjadi satu. Namun Khalâf bin Sâlim lebih setuju untuk melarang hal ini.
Samâ’ dari Balik Tabir
Samâ’ di balik tabir diperbolehkan, ketika masih dapat didengar suara gurunya. Ini jika gurunya meriwayatkan Hadisnya dengan redaksi guru tersebut. Atau diketahui kehadiran gurunya itu di suatu tempat, di mana ia dapat mendengar gurunya, jika Hadisnya itu diriwayatkan dengan memakai metode dibacakan. Dan untuk mengetahui hal-hal tersebut sudah dianggap cukup dengan hanya didasarkan pada pemberitahuan seorang yang dikenal tsiqah. Syu’bah mensyaratkan bahwa seorang rawi harus melihat gurunya. Namun kriteria yang diajukan Syu’bah ini bertentangan dengan pendapat yang dipandang benar oleh jumhur ulama.
Pelarangan Periwayatan dari Seorang Guru Hadis
Ketika seorang guru Hadis pada saat meriwayatkan Hadis mengatakan. “Jangan riwayatkan Hadis ini dariku”, “Aku menarik kembali periwayatanku”, dan yang sejenisnya, dengan tanpa memberi embel-embel bahwa hal itu dilakukan karena terdapat kesalahan atau keraguan pada Hadis yang telah diriwayatkannya, hal itu tidak dapat menghalangi periwayatan seorang rawi terhadap Hadis itu.
Jika seorang guru hanya mengkhususkan suatu periwayatan Hadisnya pada suatu kelompok masyarakat, namun ada pihak lain yang juga mendengar periwayatan itu tanpa sepengetahuan guru itu, pihak lain itu tetap diperbolehkan meriwayatkan Hadis itu. Meskipun ia mengatakan, “Aku meriwayatakan Hadis pada kalian bukan pada fulan”, hal ini pun tidak menghalangi kesahihan periwayatan fulan. Pendapat ini dikemukan oleh Abû Ishâq.
3. Memberi Lisensi Periwayatan (Ijâzah)
Metode ijâzah terbagi ke dalam beberapa macam. Pertama, seorang guru Hadis memberi lisensi pada seorang murid yang telah ditentukan untuk hanya meriwayatkan suatu kitab Hadis yang telah ditentukan, seperti dalam kalimat berikut ini, “Aku berikan lisensi padamu untuk meriwayatkan seluruh Hadis yang terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî” atau “Aku berikan lisensi padamu Hadis-hadis yang terkandung dalam daftar isi kitabku”. Ini merupakan jenis ijâzah yang tertinggi dan tidak terkait dengan metode munâwalah.
Menurut pendapat yang dikemukan oleh jumhur beberapa kelompok ulama bahwa ijazâh seperti ini boleh untuk diriwayatkan dan dipergunakan. Namun ada sebagian kelompok ulama lainnya yang menolak menggunakan model ini. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari al-Syâfi’î. Menurut sebagian ulama pengikut aliran Zhâhiriyah, model ijâzah ini tidak dapat dipergunakan, seperti layaknya Hadis mursal. Dan menurut penulis, ini merupakan pendapat yang salah.
Kedua, seorang guru Hadis memberi lisensi pada seorang murid yang telah ditentukan untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang tidak ditentukan, seperti dalam kalimat berikut ini, “Aku berikan lisensi padamu untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang telah aku terima”. Dalam model ini, perbedaan pendapat yang terjadi lebih banyak dan lebih rumit daripada perbedaan pendapat yang terjadi pada model sebelumnya. Jumhur beberapa kelompok ulama membolehkan meriwayatkan dengan menggunakan ijâzah cara kedua ini dan mereka mewajibkan penggunaannya.
Ketiga, seorang guru Hadis memberi lisensi pada seseorang yang tidak ditentukan untuk meriwayatkan Hadis dengan cara umum, seperti dalam kalimat berikut ini, “Aku memberi lisensi kepada semua kaum muslimin”, “Aku memberi lisensi pada setiap orang”, atau “Aku memberi lisensi pada orang-orang yang sejaman denganku”.
Dalam metode ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli Hadis mutaakhkhirin. Jika ia memberi catatan model ijâzahnya dengan memberi batasan yang jelas, maka akan lebih tepat untuk dibolehkan. Di kalangan ahli Hadis yang membolehkan model ijâzah ini, diantaranya, al-Qâdlî Abû Thayyib, al-Khathîb, Abû ‘Abd Allâh bin Mandah, Ibnu ‘Attâb, Abû al-‘Alâ’ dan beberapa ulama lainnya.
Menurut Ibn al-Shalâh, belum pernah diketahui ada seorang imam yang mempunyai pengikut melakukan periwayatan dengan cara ini. Namun menurut penulis, yang nampak dari pendapat yang dikemukan oleh orang-orang yang membolehkan periwayatan dengan cara ini adalah kebolehan meriwayatkan dengan cara ini. Dan ini cukup dijadikan alasan untuk membenarkan periwayatan dengan cara ini. Karenanya, apa gunanya ijâzah cara yang terakhir ini, kalau ijâzah cara ini tidak dapat dipergunakan untuk meriwayatkan.
Keempat, memberikan lisensi pada seseorang yang telah ditentukan untuk meriwayatkan suatu kitab yang tidak diketahui. Atau memberi lisensi pada seseorang yang tidak dikenal untuk meriwayatkan suatu kitab yang telah ditentukan, seperti “Aku memberi lisensi untuk meriwayatkan kitab sunan”, padahal ia meriwayatkan beberapa kitab sunan. Atau seperti “Aku memberi lisensi pada Muhammad bin Khâlid al-Dimasyqî”. Ada beberapa kelompok ahli Hadis yang mencampuradukkan penggunaan istilah ini. Dan itu merupakan sikap yang salah.
Jika guru tersebut memberikan lisensi pada beberapa orang yang disebutkan namanya saat memberikan lisensi atau pada saat yang lain, dan ia tidak mengetahui identitas, marga, jumlah dan tulisannya, ijâzah dengan cara demikian masih dapat dibenarkan. Seperti halnya mereka menerima Hadis langsung dari guru itu, pada situasi yang sama di majlis belajar guru tersebut.
Mengenai ijâzah “Aku memberi lisensi pada siapa saja yang dikehendaki fulan” dan yang sejenisnya, sedang pada orang itu banyak hal yang tidak diketahui dan banyak catatan khusus mengenai orang itu, menurut pendapat yang kuat, hal itu tidak dapat dibenarkan. Pendapat ini ditetapkan oleh al-Qâdlî Abû al-Thayyib al-Syâfi’î. Dan ini dibenarkan oleh Abû al-Farrâ’ al-Hanbalî, dan Ibnu ‘Umrûs al-Mâlikî.
Jika seorang guru Hadis mengatakan “Aku memberi lisensi bagi siapapun yang berkenan dengan lisensi ini”, maka ini akan sama halnya dengan ia mengatakan “Aku memberi lisensi kepada siapa saja yang dikehendaki fulan”, padahal yang bersangkutan lebih banyak tidak diketahui. Jika ia mengatakan, “Aku memberi lisensi pada siapa saja yang menghendaki periwayatan dariku”, maka ini lebih tepat untuk dibolehkan. Karena ini merupakan penjelasan mengenai kesesuaian situasinya.
Jika ia mengatakan, “Aku memberi lisensi pada fulan tentang hal ini, jika ia menghendaki untuk meriwayatkan Hadis ini dariku”, “Aku memberi lisensi padamu jika kamu menghendaki”, “Aku memberi lisensi padamu jika kamu suka”, atau “Aku memberi lisensi padamu jika kamu menginginkan”, maka pendapat yang lebih kuat adalah membolehkan model ijâzah seperti ini.
Kelima, memberi lisensi pada seseorang yang belum ada, seperti :”Aku memberi lisensi pada seorang anak yang akan dilahirkan fulan”. Beberapa ulama Hadis mutaakhkhirin berbeda pendapat mengenai kesahihan model ijâzah seperti ini. Tapi jika ia menyandingkan orang yang belum ada dengan orang yang telah ada, seperti “Aku memberi lisensi pada fulan dan anak-anak yang akan terlahir darinya”, “Aku memberi ijazah padamu dan keturunan-keturunanmu”, maka ini lebih tepat untuk diperbolehkan.
Yang terakhir inilah banyak dilakukan oleh beberapa ahli Hadis, diantaranya Abû Bakar bin Abî Dâud. Sedang al-Khathîb lebih cenderung untuk membolehkan model ijâzah kategori yang pertama. Ini didasarkan informasi dari Ibn al-Farrâ’ dan Ibnu ‘Umrûs. Namun hal ini digugat oleh Abû al-Thayyib dan Ibnu al-Shabbâgh, dua tokoh Hadis beraliran fikih Syâfi’iyah. Dan ini merupakan pendapat yang dipandang tepat. Sebaiknya tidak menggunakan ijâzah lain selain ijâzah dalam kategori yang pertama. Mengenai pemberian lisensi pada seorang anak kecil yang belum tamyîz, menurut pendapat yang sahih yang ditetapkan oleh Abû al-Thayyib dan al-Khathîb, dapat dibenarkan. Ini berbeda dengan pendapat beberapa ahli Hadis yang lain.
Keenam, pemberian lisensi pada sebuah Hadis yang tidak diterima oleh orang yang memberikan lisensi (mujîz) pada salah satu cara (baik itu samâ’ maupun dengan ijâzah), agar orang yang diberi lisensi (mujâz) dapat meriwayatkan Hadis tersebut, ketika Hadis itu diterima oleh mujîz. Al-Qâdlî ‘Iyâdl mengatakan, “Aku tidak melihat seorang pun yang berpendapat mengenai hal itu. Aku hanya melihat beberapa ahli Hadis mutaakhkhirin melakukan cara ini”.
Lalu ia menginformasikan bahwa Qâdlî Qurthubah Abû al-Walîd melarang hal itu. Menurut ‘Iyâdl, pendapat inilah yang paling benar. Dengan demikian, menjadi jelas bagi seseorang yang hendak meriwayatkan suatu Hadis dari seorang guru yang telah memberinya lisensi untuk meriwayatkan semua Hadis yang diterima gurunya itu, dan tetap meneliti sampai ia tahu bahwa Hadis-hadis itu adalah di antara Hadis yang diterima oleh gurunya, sebelum gurunya memberikan lisensi itu.
Sedang mengenai pernyataan seorang guru yang mengatakan, “Aku memberi lisensi padamu Hadis-hadis yang shahîh atau Hadis-hadis shahîh yang ada padamu di antara Hadis-hadis yang aku terima”, pernyataan ini dapat dibenarkan dan bisa diriwayatkan, ketika Hadis yang diterimanya itu benar-benar shahîh, sebelum ia memberikan ijâzah. Dan hal ini pernah dilakukan oleh al-Dâruquthnî dan ulama lainnya.
Ketujuh, pemberian lisensi oleh seorang yang mendapat lisensi (ijâzah al-mujâz), seperti “Aku memberi lisensi padamu untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang aku peroleh dari ijâzah”. Sebagian orang yang belum diakui melarang hal ini. Namun yang benar dan berlaku di kalangan ahli Hadis, bahwa hal itu bisa dipergunakan. Pendapat ini ditetapkankan oleh beberapa orang hâfizh Hadis, seperti al-Dâruquthnî, Ibnu ‘Uqdah Abû Nu’aim, dan Abû al-Fath al-Maqdisî.
Abû al-Fath sendiri meriwayatkan dengan cara mengijâzahkan Hadis-hadis yang ia peroleh dari ijâzah. Kadang ia mempraktekan sampai tiga kali periwayatan melalui ijazah berturut-turut. Seorang rawi melalui cara ijâzah sebaiknya meneliti dengan cermat ijâzahnya, agar ia tidak sampai meriwayatkan Hadis-hadis yang tidak masuk dalam materi ijâzahnya.
Jika ijâzah kakek guru seorang rawi berbentuk seperti berikut, “Aku memberi lisensi padanya (guru rawi) Hadis-hadis shahîh yang ada padanya di antara Hadis-hadis yang telah aku terima”, kemudian ia melihat bahwa Hadis itu memang benar-benar diterima kakek gurunya itu. Pada titik ini, ia tidak boleh langsung meriwayatkan Hadis itu dari gurunya yang mendapatkan Hadis itu dari kakek gurunya, sampai ia tahu bahwa keberadaan Hadis itu benar-benar berasal dari Hadis-hadis yang diterima oleh gurunya.
Definisi Ijâzah
Abû al-Hasan bin Fâris mengatakan bahwa secara kebahasaan, kata ijâzah berasal dari kata ”jawâz al-mâ’ al-ladzî tusqâhu al-mâsyiyatu wa al-harts” (laluan air yang diminumkan pada hewan ternak dan tanah garapan). Karenanya, muncul ungkapan ”istajaztuhu fa ajâzanî” (aku mintakan minum padanya dan ia memberi minum padaku). Ungkapan ini dikatakan pada saat seseorang memberi kita air untuk hewan ternak dan tanah kita.
Begitu pula seorang pelajar Hadis. Ia adalah seorang yang meminta ijin pada seorang yang lebih senior ilmunya untuk diambil ilmunya dan orang yang berilmu itu memberinya ijin. Dengan demikian, boleh dikatakan, “Aku memberi lisensi pada fulan semua Hadis yang telah aku terima”. Dan seseorang yang menjadikan ijâzah sebagai suatu perantara untuk memberi ijin—dan inilah yang umum terjadi—akan mengatakan, “Aku memberi lisensi padanya untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang telah aku terima”. Juga ketika ia mengatakan, “Aku memberi lisensi padanya semua Hadis-hadis yang aku terima”, dengan tanpa menyebut kata “periwayatan”, seperti yang terdapat pada ungkapan-ungkapan yang sejenis.
Para ahli Hadis berpendapat bahwa suatu ijâzah sebaiknya diberikan ketika mujîz mengerti mengenai materi ijâzahnya, di samping bahwa mujâz juga dikenal sebagai seorang yang berilmu. Persyaratan ini ditetapkan oleh sebagian ahli Hadis dan informasi ini bersumber dari Mâlik. Ibnu ‘Abd al-Barr mengatakan bahwa menurut pendapat yang benar, ijâzah tidak diperbolehkan diberikan, kecuali pada orang yang mempunyai kemampuan dalam ilmu Hadis, untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang telah ditentukan di mana sanadnya tidak menemui kendala. Bagi seorang yang menerima ijâzah dengan menuliskan Hadisnya sebaiknya membacakan materi Hadis itu. Jika ia hanya membatasi pada kegiatan menulis ijâzah saja, periwayatannya telah dapat dibenarkan.
4. Penyerahan (Munâwalah)
Munâwalah terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, munâwalah yang disertai dengan ijâzah. Kedua, munâwalah yang tidak disertai dengan ijâzah. Secara mutlak, bagian pertama merupakan tingkat tertinggi dalam ijâzah. Metode yang dipergunakan dalam hal ini, diantaranya, seorang guru Hadis menyerahkan kitab sumbernya atau kitab salinannya pada muridnya. Pada saat itu, ia mengatakan, “Ini adalah Hadis yang aku terima”, atau “Ini adalah Hadis yang aku riwayatkan dari fulan dan kamu boleh meriwayatkannya”. Kemudian kitab itu ditinggalkan oleh guru tersebut untuk selanjutnya menjadi hak milik muridnya. Atau guru tersebut membuatkan salinan untuk muridnya. Di samping ada beberapa cara yang lainnya.
Metode lainnya, misalnya, seorang pelajar Hadis menyerahkan kitab yang berisi mengenai Hadis-hadis yang diterimanya kepada gurunya. Hadis itu kemudian diteliti oleh gurunya. Dan gurunya itu secara sadar melakukan pengkajian terhadap Hadis-hadis itu. Selanjutnya guru tersebut menyerahkan kembali kitab itu pada muridnya. Ia lalu mengatakan, “Ini adalah Hadisku”, atau “Ini adalah periwayatanku, silakan riwayatkan Hadis-hadis ini dariku”. Atau gurunya itu mengatakan, “Aku memberi lisensi padamu untuk meriwayatkannya”. Inilah yang disebut dengan ‘ardl (sorogan) oleh banyak ahli Hadis. Di atas telah disebutkan bahwa membacakan Hadis pada seorang guru (qirâ’ah ‘alâ al-syaikh) juga disebut ‘ardl. Karenanya, ‘ardl pada pembahasan kita kali ini disebut sebagai ‘ardl al-munâwalah. Dan ‘ardl yang sebelumnya disebut dengan ‘ardl al-qirâ’ah.
Munâwalah dengan metode ini, menurut al-Zuhrî, Rabî’ah, Yahyâ bin Sa’îd al-Anshârî, Mujâhid, al-Sya’bî, ‘Alqamah, Ibrâhîm, Abû al-Âliyah, Abû al-Zubair, Abû al-Mutawakkil, Mâlik, Ibnu Wahb, Ibn al-Qâsim, dan beberapa ahli Hadis lainnya, sama kuatnya dengan penerimaan Hadis dengan metode samâ’. Namun menurut pendapat yang lebih tepat menyebutkan bahwa metode ini berada satu tingkat di bawah samâ’. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyân al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn al-Mubârak, Abû Hanifah, al-Syâfi’î, al-Buwaitî, al-Muzanî, Ahmad, Ishâq, dan Yahyâ bin Ahmad. Menurut al-Hâkim, inilah pendapat yang dianut oleh para imam kita dan kita pun mengikutinya.
Metode ijâzah yang lain, misalnya, seorang guru Hadis menyerahkan Hadis yang diterimanya kepada muridnya dan kemudian Hadis itu ia ijâzahkan pada muridnya itu. Namun naskah Hadisnya itu tidak ia serahkan pada muridnya. Ini berbeda dengan metode di atas. Periwayatan ini bisa dipergunakan sebagaimana ijâzah murni, ketika ia menemukan kitab sumber atau salinan kitabnya yang diakui sama dengan Hadis yang diterima melalui ijâzah. Pada metode munâwalah ini tidak nampak adanya keistimewaan yang menonjol melebihi ijâzah murni pada beberapa kitab tertentu.
Sekelompok ahli Hadis dan para pakar ushul fikih menyatakan bahwa ijâzah dengan metode ini tidak banyak kegunaannya. Namun para ahli Hadis, baik yang mutaqaddimin maupun yang mutaakhkhirin, melihat adanya keistimewaan pada metode ini yang patut diapresiasi. Metode lainnya yang menarik dikaji, seperti seorang pelajar Hadis yang mendatangi gurunya. Pada kesempatan itu, ia mengatakan pada gurunya, “Ini Hadis yang Anda riwayatkan. Mohon kiranya Anda berkenan menyerahkan dan memberi lisensi padaku untuk bisa meriwayatkannya”. Atas permintaan itu, gurunya itu mengkabulkan begitu saja permintaan itu, tanpa meneliti kembali dan memeriksa dengan seksama materi Hadis yang terdapat pada periwayatan itu. Metode periwayatan seperti ini tidak dapat dibenarkan.
Namun jika guru itu percaya akan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki muridnya, di mana ia boleh melakukan hal itu dan periwayatannya dapat dibenarkan, seperti halnya periwayatan melalui metode qirâ’ah. Jika ia mengatakan, “Riwayatkan dariku Hadis-hadis yang terdapat di dalamnya, jika itu memang Hadisku. Dan aku tidak bertanggung jawab jika terdapat kesalahan pada periwayatanmu”, periwayatan yang demikian dinilai baik dan dapat dibenarkan.
Bagian berikutnya adalah, munâwalah yang tidak disertai ijâzah. Contoh metode ini, seorang guru Hadis yang menyerahkan kitabnya tapi ia memberi batasan hanya pada Hadis yang diterimanya saja. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh ahli fikih dan ushul fikih bahwa periwayatan seperti ini tidak diperbolehkan. Namun pendapat ini dicibir oleh para ahli Hadis yang membolehkan periwayatan seperti ini.
“Haddatsanâ” dan “Akhbaranâ” Pada Metode Munâwalah
Al-Zuhrî, Mâlik dan para ulama lainnya membolehkan penggunaan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” pada periwayatan metode munâwalah. Ini merupakan hasil kesimpulan para ahli yang memposisikan ijâzah berada di posisi yang sama dengan samâ’. Abû Nu’aim al-Isfahânî dan ulama lainnya menginformasikan bahwa hal itu diperbolehkan hanya untuk ijâzah murni.
Namun pendapat yang dipegang oleh jumhur ahli Hadis dan para muhaqqiq, melarang penggunaan dua istilah teknis itu. Pada metode munâwalah, ijâzah dan yang sejenisnya, mereka memberikan istilah tambahan untuk menspesifikasi penggunaan masing-masing istilah teknis itu. Seperti “haddatsanâ atau akhbaranâ ijâzatan” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara memberikan lisensi), “haddatsanâ aw akhbaranâ munâwalatan wa ijâzatan” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan munâwalah dan ijâzah), “haddatsanâ aw akhbaranâ idznan” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara memberi ijin), “haddatsanâ aw akhbaranâ fî idznihi” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan sepengetahuan dan ijin darinya), “haddatsanâ aw akhbaranâ fîmâ adzina lî fîhi” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami untuk meriwayatkan Hadis-hadis dalam kitab yang diijinkan untuk aku riwayatkan), “haddatsnâ aw akhbaranâ fîmâ athlaqa lî riwâyatahu” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami untuk Hadis-hadis yang ia sebutkan padaku sebagai periwayatannya), “haddatsnâ aw akhbaranâ ajâzanî aw lî” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan pemberian lisensi padaku untuk meriwayatkannya), “haddatsanâ aw akhbaranâ nâwalanî” (ia meriwayatkan Hadis ini pada kami dengan cara menyerahkannya padaku), dan ungkapan-ungkapan yang sejenisnya.
Sedang al-Auzâ’î menspesifikasikan penggunaan “khabbaranâ” untuk ijâzah dan “akhbaranâ” untuk qirâ’ah. Di bagian lain, sekelompok ulama mutaakhkhirin lebih cenderung menggunakan “anba’anâ” untuk ijâzah. Dan pendapat ini dipilih oleh penulis kitab al-Wijâdah. Lain lagi dengan al-Baihaqî. Ia secara khusus menggunakan istilah teknis yang ia buat sendiri, “anba’anî ijâzatan”.
Al-Hâkim mengatakan bahwa pendapat yang dipilihnya dan telah di konfirmasikan pada mayoritas guru-guru dan imam-imam yang semasa dengannya, mengenai Hadis yang disorogkan pada seorang ahli Hadis sedang ahli Hadis itu memberikan lisensi secara oral, ia harus mengatakan, “Anba’anî”. Sedang untuk Hadis yang ia sorogkan pada seorang ahli Hadis dengan cara ahli Hadis itu mengirimkan surat padanya, ia harus katakan, “Kataba ilayya” (Ia menuliskan Hadis ini kepadaku).
Abû Ja’far bin Hamdân menegaskan bahwa setiap yang dikatakan oleh al-Bukhârî dalam Shahîh al-Bukhârî, “Qâla lî fulân” (fulan mengatakannya padaku), merupakan periwayatan yang diterima al-Bukhârî melalui cara ‘ardl dan munâwalah. Sekelompok ahli Hadis menggunakan ungkapan teknis “akhbaranâ fulânun anna fulanan haddatsahu aw akhbarahu” (fulan meriwayatkan pada kami bahwa fulan lainnya meriwayatkan Hadis ini kepadanya) untuk periwayatan dengan cara ijâzah. Pendapat inilah yang dipilih dan diinformasikan al-Khaththâbî. Tapi pendapat ini lemah.
Para ulama mutaakhkhirin menggunakan “’an” untuk ijâzah yang terjadi pada periwayatan rawi-rawi yang di atas gurunya. Rawi yang menerima Hadis dari gurunya melalui cara ijâzah yang diterima dari kakek gurunya, mengatakan, “Aku bacakan Hadis ini pada fulan dari fulan (kakek gurunya)”. Sedang pelarangan penggunaan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” tetap berlaku meski rawi yang memberi lisensi tidak melarang hal itu.
5. Menuliskan (Kitâbah)
Dalam metode ini, seorang guru Hadis menuliskan Hadis yang diterimanya untuk murid-muridnya yang hadir dan yang tidak hadir, baik Hadisnya itu ia tulis sendiri atau merupakan tulisan orang lain yang diperintahnya. Metode ini terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, kitâbah yang tidak disertai dengan ijâzah. Kedua, kitâbah yang disertai dengan ijâzah. Kitâbah yang terakhir disebutkan, dalam tingkat kekuatan dan kesahihannya, berada dalam satu tingkat dengan munâwalah yang disertai dengan ijâzah. Adapun kitâbah murni, sekelompok ahli Hadis melarang periwayatan dengan menggunakan kitâbah dengan cara ini. Salah satu ahli Hadis yang melarang penggunaan kitâbah ini adalah al-Qâdlî al-Mâwardî al-Syâfi’î.
Namun sebagian besar ahli Hadis mutaqaddimin dan mutaakhkhirin tidak melarangnya. Di antara ulama itu ada beberapa ulama bermazhab Syâfi’iyah, seperti Ayyûb al-Sakhtiyânî, Manshûr, al-Laits, dan para pakar ushul fikih. Pendapat inilah yang tepat dan populer di kalangan ahli Hadis.
Dalam karya-karya mereka terdapat ungkapan-ungkapan seperti berikut ini, “Fulan menuliskan suatu Hadis ini padaku. Ia mengatakan fulan lainnya meriwayatkan Hadis ini pada kami”. Maksud dari ungkapan ini adalah realisasi dari pendapat mereka di atas. Ini memang sering dipergunakan di kalangan mereka. Ungkapan-ungkapan di atas juga banyak digunakan dalam Hadis maushûl. Ungkapan di atas dipergunakan, karena dirasa mempunyai kandungan makna yang sama dengan ijâzah.
Namun al-Sam’ânî menambahkan bahwa metode kitâbah lebih kuat dari ijâzah. Periwayatan dengan menggunakan metode kitâbah dianggap mencukupi dengan diketahuinya tulisan penulisnya. Meski di kalangan ahli Hadis ada yang mensyaratkan harus adanya saksi. Namun pendapat ini dinilai lemah.
Pendapat yang dianggap benar dalam masalah ini, bahwa seorang rawi cukup mengatakan, “Fulan menuliskan Hadis ini padaku. Ia mengatakan bahwa fulan (gurunya) meriwayatkan Hadis ini padanya”, “Fulan meriwayatkan Hadis ini dengan cara menuliskan Hadis ini atau kami sama-sama menulis”, atau ungkapan-ungkapan yang sejenis. Penggunaan “haddatsnâ” dan “akhbarana” dalam metode ini juga tidak diperbolehkan. Namun al-Laits, Manshûr, beberapa ahli Hadis dan pembesar-pembesarnya membolehkan penggunaan istilah teknis itu.
6. Pemberitahuan (I’lâm)
Dalam metode ini, seorang guru Hadis memberitahukan kepada muridnya bahwa Hadis atau kitab yang ada padanya itu adalah Hadis yang diterimanya dari gurunya dan ia tidak mengijinkan Hadisnya itu diriwayatkan, karena ia hanya memberitahukan Hadis itu pada muridnya. Mayoritas ahli Hadis, ahli fikih, ushul fikih, dan ulama beraliran Zhâhiriyah membolehkan periwayatan dengan cara ini. Di antara ulama-ulama itu, antara lain, Ibnu Juraij, Ibn al-Shabbâgh al-Syâfi’î, dan Abû al-Abbâs al-Ghamrî al-Mâlikî.
Sekelompok ulama Zhâhiriyah menyatakan bahwa jika seorang guru Hadis mengatakan, “Hadis ini adalah periwayatanku. Jangan engkau riwayatkan periwayatanku ini!”, maka komentar yang demikian bagi seorang murid Hadis tetap bisa dijadikan sebagai alasan bahwa periwayatan itu adalah periwayatannya dari gurunya tersebut. Namun pendapat yang tepat adalah pendapat yang disampaikan beberapa ahli Hadis dan ulama-ulama lainnya, bahwa periwayatan seperti di atas tidak diperbolehkan. Akan tetapi substansi Hadis itu tetap wajib diamalkan, jika sanadnya memang benar-benar shahîh.
7. Pesan (Washiyyah)
Dalam metode ini, seorang guru Hadis memberikan wasiat suatu kitab yang diriwayatkannya pada muridnya, ketika guru tersebut sudah mendekati ajalnya atau ia akan bepergian jauh. Sekelompok ulama kalangan salaf membolehkan metode ini, untuk seseorang yang memang diwasiati gurunya untuk meriwayatkan Hadis gurunya itu. Ini pendapat yang tidak tepat. Karena pendapat yang tepat menyatakan bahwa periwayatan seperti ini tidak dibenarkan.
8. Penemuan (Wijâdah)
Wijadah, secara tinjauan gramatikal Arab, merupakan derivasi berbentuk infinitif dari kata kerja “wajada”. Kata ini merupakan kata serapan yang ditemui dalam kata Arab. Dalam metode ini, seorang guru Hadis tidak melakukan apapun pada Hadis-hadis tulisan rawinya yang tidak diriwayatkan oleh wâjid (penemu Hadis itu). Kalau ini yang terjadi, maka ia harus mengatakan, “Aku menemukan atau membaca dalam tulisan fulan atau dalam kitabnya dengan tulisannya sendiri ‘fulan meriwayatkan Hadis ini pada kami’, kemudian ia menuturkan sanad dan matan Hadisnya seperti pada matan dan sanad Hadis sebelumnya.
Atau ia harus mengatakan, “Aku membaca tulisan fulan yang meriwayatkan Hadis dari fulan lainnya”. Inilah yang terus menerus dilakukan baik pada masa sekarang maupun masa lalu. Ini termasuk model gaya penuturan Hadis munqathi’. Namun di dalam metode ini ada semacam unsur campuran kemuttasilan. Dalam hal ini, sebagian ulama telah bertindak ceroboh dengan menggunakan “haddatsanâ” dan “akhbaranâ” pada metode ini. Untungnya banyak ahli yang tidak menyetujui tindakan ini.
Ketika seorang rawi menemukan sebuah Hadis dalam karya seseorang, ia harus katakan, “Fulan menyebutkan padaku”, atau “Fulan mengatakan bahwa Hadis ini diriwayatkan fulan pada kami”. Ini akan mengindikasikan kemunqati’an Hadis itu. Karena tidak ada unsur lain yang dapat mengindikasikan kemuttasilan periwayatan itu.
Ini semua dikatakan, jika ia percaya bahwa yang ada dalam kitab itu adalah tulisan penulisnya atau kitab itu memang benar-benar kitab penulisnya. Jika tidak, maka ia harus mengatakan, “Sampai suatu Hadis dari fulan padaku”, “Aku menemukan suatu Hadis darinya”, “Aku membaca pada suatu kitab bahwa fulan menceritakan bahwa Hadis itu adalah tulisan fulan”, “Aku menduga kitab Hadis itu adalah tulisan fulan”, “Penyalinnya menyebutkan Hadis itu adalah tulisan fulan”, “Penyalinnya menyebutkan bahwa kitab itu adalah karya fulan”, atau dikatakan “Dengan tulisan atau ini merupakan karya fulan”.
Ketika ia mengutip dari suatu karya tentang Hadis, ia tidak boleh mengatakan, “Fulan mengatakan”. Kecuali jika ia percaya dengan kebenaran tulisan itu, setelah membanding-bandingkan karya itu dengan karya-karya yang lain. Atau setelah ada seorang tsiqah melakukan perbandingan mengenai kebenaran tulisan itu. Jika itu tidak ditemukan atau keterangan-keterangan lainnya yang sejenis, ia harus mengatakan, ”Hadis ini sampai padaku”, atau “Aku menemukan pada suatu naskah di antara kitabnya”, dan yang sejenisnya. Banyak para ahli pada masa-masa belakangan ini yang mentolelir hal-hal di atas. Mereka dengan gampang menetapkan hal-hal di atas, dengan tanpa meberikan pelarangan apapun.
Pendapat yang benar adalah seperti pendapat yang telah kami sebutkan di atas. Jika yang melihat dan meneliti Hadis itu adalah seseorang yang mendalam pengetahuannya di mana secara umum tidak sampai ada yang terlewat sedikit pun darinya, jika terdapat rawi yang gugur (sâqith) atau rawi yang dirubah (mughayyar), maka masih bisa diharapkan untuk bisa menetapkan Hadis itu. Pada batas ini, banyak para penulis kitab yang tidak melakukan kegiatan pengutipan mereka.
Mengenai penggunaan metode wijâdah, dikutip dari sebagian ahli Hadis bermazhab Mâlikiyah dan ahli Hadis lainnya, bahwa kegiatan periwayatan dengan cara wijâdah tidak dapat dibenarkan. Sedang menurut pendapat yang dikutip oleh al-Syâf’iî dan para peneliti yang menjadi pengikutnya tidak melarang wijâdah. Sebagian muhaqqiq yang beraliran Syâfi’iyah bahkan mewajibkan untuk mengamalkan wijâdah, jika ditemukan ketsiqahan pada rawi-rawinya. Ini merupakan pendapat yang dipandang paling tepat di mana pada masa ini belum ada pendapat lain yang lebih kuat pijakan argumennya melebihi pendapat ini.
25. Penulisan Hadis dan Pemberian Syakal
Para ulama salaf berselisih pendapat mengenai kebolehan penulisan Hadis. Sekelompok ulama ada yang membolehkan, sedang kelompok lain melarangnya. Namun kemudian mereka sepakat untuk membolehkan hal itu. Masing-masing memiliki Hadis yang dijadikan sebagai dasar argumen kelompoknya masing-masing. Penulisan Hadis hanya dibolehkan untuk mereka yang gampang lupa jika Hadis yang diterimanya itu tidak ditulis. Bagi mereka yang tidak tergolong pelupa dan dikhawatirkan akan hanya mengandalkan tulisannya saja, penulisan Hadis dilarang untuknya. Juga dilarang, ketika dikhawatirkan akan terjadi pencampuradukan antara Hadis dengan al-Qur’an. Jika tidak demikian, maka penulisan itu dibolehkan.
Seorang penyalin Hadis diwajibkan untuk benar-benar memperhatikan pada pemberian syakal dan pentahqiqannya, baik syakal maupun titik-titiknya, hingga tidak terjadi kerancuan. Ada suatu pendapat yang mengatakan, “Hanya bagian yang dianggap akan memunculkan kendala (musykil) saja yang diberikan syakal. Suatu pendapat yang dikutip dari beberapa ahli menyatakan kemakruhan memberi titik dan i’râb, kecuali pada bagian-bagian yang dikhawatirkan akan memunculkan kerancuan.
Pemberian Syakal Pada Penulisan Nama
Seorang penyalin sebuah Hadis sebaiknya memperhatikan dengan serius pada penulisan bagian-bagian yang akan memunculkan kebingungan, terutama menyangkut masalah nama. Pemberian syakal pada bagian yang musykil dianjurkan pada kitab yang sama. Dan penulisannya dilakukan dengan memberikan syakal yang jelas di pinggir halaman depan bagian yang musykil itu.
Dianjurkan pula mentahqiq tulisan Hadis, dengan tanpa memberi contoh dan catatan tambahan pada tulisan itu. Bahkan dimakruhkan menelitinya secara detail. Kecuali jika ada satu alasan yang cukup kuat untuk melakukan hal itu, seperti kertasnya sempit, untuk meringankan kertasnya agar mudah dibawa dalam perjalanan, dan alasan-alasan lain yang sejenis.
Ia juga sebaiknya memberikan syakal pada huruf-huruf yang tidak bertitik. Ada yang berpendapat, di bawah huruf dâl, râ’, sîn, shâd, thâ’, ‘ain, diberikan titik seperti pada huruf-huruf padanannya yang diberikan titik di atasnya. Pendapat lain menyebutkan diberi titik di atasnya, seperti pada ungkapan “qulâmah al-zhufur mudlthaji’atan ‘alâ qafâhâ” (guntingan kuku dengan tiduran di atas tengkuknya). Ada pula yang berpendapat, di bawahnya diberi huruf kecil yang sama. Pada beberapa kitab-kitab klasik, di bagian atasnya diberi tulisan kecil. Beberapa kitab yang lain, huruf-huruf itu di bawahnya diberikan hamzah.
Ia sebaiknya tidak membuat istilah teknis sendiri dengan memberi rumus-rumus yang tidak diketahui orang lain. Jika ia harus melakukan hal itu, maka ia harus menjelaskan maksudnya di bagian awal atau di bagian akhir kitabnya. Ia juga harus serius memberikan perhatian pada pemberian syakal Hadis-hadis yang berbeda-beda periwayatannya. Dan ia harus dengan baik memilah-milahnya, sampai ia bisa menjadikan kitabnya berdasar pada satu periwayatan.
Untuk keterangan-keterangan tambahan, ia harus sisipkan pada bagian pinggir bukunya. Sedang untuk pengurangan-pengurangan yang ia ketahui atau perbedaan yang ia tuliskan, ia harus menjelaskan semua itu mengenai siapa yang meriwayatkannya, dengan menyebutkan secara lengkap namanya. Ia tidak boleh hanya menyebutkan nama itu dengan menggunakan rumus, kecuali jika ia telah menjelaskannya di bagian awal atau bagian akhir kitabnya. Sebagai pembeda, mayoritas ulama menganggap cukup dengan memberikan tinta merah.
Dan untuk penambahan keterangan penulisnya, sebaiknya dilakukan dengan tinta merah. Juga untuk kesalahan dan pengurangan salah satu bagian di dalamnya, ia juga sebaiknya menggunakan tinta merah. Itupun masih harus dijelaskan di bagian